YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
(Pilihan Penulis)
Sumber :
Penerbit PT PILAR YURIS UTAMA,
Jakarta, Cetakan Pertama, 2009
BUKU 1
PERDATA (s.d. th. 1979)
1.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 38
K/SIP/1967
Tanggal
: 17 Mei 1967
Kaidah
Hukum :
Lembaga uang paksa, sekalipun tidak
secara khusus diatur dalam HIR, harus dianggap tidak bertentangan dengan sistem
HIR, maka berdasarkan penafsiran yang lazim dari Pasal 393 HR, lembaga tersebut
dapat diterapkan dalam acara yang berlaku dalam Peradilan Umum.
Catatan
Penulis :
Pasal 393 HR mungkin maksudnya Herziene Indlansche Reglement (HIR).
Pasal 606a RV :
“Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk
sesuatu yang lain daripada membayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan, bahwa
sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya
harus diserahkan sejumlah uang yang besamya ditetapkan dalam keputusan hakim,
dan uang tersebut dinamakan uang paksa.”
Uang paksa (dwangsom/astreinte) ini merupakan suatu cara agar seseorang “dipaksa”
untuk melaksanakan suatu perbuatan, yaitu dengan menghukumnya membayar sejumlah
uang tertentu apabila perbuatan yang “dipaksakan” tidak dilaksanakannya. Bahwa
dalam persoalan pembayaran ganti rugi berupa uang, dwangsom sudah tepat tidak diberlakukan, karena putusan berupa
ganti rugi sejumlah uang dapat langsung dinilai dan dieksekusi. Bayangkan
apabila dwangsom dikabulkan untuk
ganti rugi sejumlah uang, maka pihak yang menang justru tidak mau menerima
pembayaran uang ganti rugi demi memperoleh dwangsom
yang semakin besar.
Lebih lanjut tentang dwangsom ini, ada hal yang menarik bila
mencermati putusan Hof
Amsterdam (Pengadilan Amsterdam) tanggal 6 Nopember 1971 (NJ 1971, 93). Awalnya
suami dihukum membayar alimentasi ke isteri. Ternyata sang suami sering lalai
dan menunda pembayaran alimentasi yang seharusnya dibayar setiap bulan. Si isteri
kemudian mengajukan gugatan, dimana agar bisa diterapkan dwangsom, si
isteri tidak secara langsung meminta agar suami tersebut dihukum membayar
sejumlah uang, tetapi ia menuntut agar hakim menjatuhkan larangan untuk menunda
pembayaran alimentasi, dengan
menerapkan dwangsom setiap kali ia melanggar larangan tersebut. Hof Amsterdam mempertimbangkan bahwa
inti gugatan isteri tersebut adalah untuk memperkuat, agar sang suami dalam
penyelenggaraan kewajibannya membayar alimentasi tepat pada waktunya, sedang
undang-undang hanya melarang dwangsom pada pembayaran sejumlah uang,
sehingga hakim dalam kasus tersebut menjatuhkan pula suatu dwangsom.
2.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 100
K/SIP/1967
Tanggal
: 14 Juni 1968
Kaidah
Hukum :
Mengingat masyarakat menuju
persamaan kedudukan pria-wanita dan penetapan janda sebagai ahli waris telah
merupakan yurisprudensi, maka putusan PT mengenai pembagian waris dalam perkara
ini dipandang tepat.
3.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 116
K/SIP/1967
Tanggal
: 31 Januari 1968
Kaidah
Hukum :
Sudah tepat pertimbangan PT, bahwa
bagi kedua belah pihak dalam perkara ini, sebagai orang Arab atau keturunan
Arab, tidak diberlakukan BW, melainkan hukum adat Indonesia atau hukum Islam,
dan dalam hukum adat maupun hukum Islam tidak dijumpai larangan untuk menjual
kepada pihak ketiga suatu hak atas bagian harta waris yang pembagiannya belum
dilaksanakan.
4.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 145
K/SIP/1967
Tanggal
: 6 Desember 1967
Kaidah
Hukum :
Hakikat dari asas ne bis in idem adalah bahwa pihak-pihak
yang berperkara adalah sama dan barang yang dipersengketakan adalah juga sama.
5.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 89
K/SIP/1968
Tanggal
: 9 Oktober 1968
Kaidah
Hukum :
Seorang janda, selama tidak kawin
lagi, berhak menguasai selama hidupnya gana-gini untuk jaminan penghidupannya.
Dalam perkara ini tidak dapat disetujui pendapat PT dan PN yang telah membagi
barang-barang sengketa diantara saudara almarhum dan janda almarhum.
6.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 350
K/SIP/1968
Tanggal
: 3 Mei 1969
Kaidah
Hukum :
Dalam hal seseorang menjual lagi
suatu barang kepada pembeli kedua dan menyerahkan barang tersebut secara
yuridis kepada pembeli kedua tersebut, maka pembeli kesatu hanya dapat menuntut
penggantian kerugian atau pembatalan perjanjian jual beli disertai penggantian
kerugian berdasarkan wanprestasi yang dilakukan oleh penjual; tidak mungkin
baginya untuk menuntut pernyataan bahwa ia adalah pemilik barang
sengketa/memaksa penjual membuat surat jual beli di muka notaris dan
menyerahkan barang yang sudah beralih menjadi hak milik orang lain.
7.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 439
K/SIP/1968
Tanggal
: 8 Januari 1969
Kaidah
Hukum :
Tuntutan tentang pengembalian barang
warisan yang di tangan pihak ketiga kepada para ahli waris yang berhak tidak
perlu diajukan oleh semua ahli waris.
8.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 610
K/SIP/1968
Tanggal
: 23 Mei 1970
Kaidah
Hukum :
Meskipun jumlah tuntutan ganti
kerugian dianggap tidak pantas, sedangkan Penggugat secara mutlak menuntut
sejumlah itu, hakim berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus
dibayar, hal itu tidak melanggar Pasal 178 (3) HIR (ex aequo et bono).
9.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 679
K/SIP/1968
Tanggal
: 24 Desember 1969
Kaidah
Hukum :
Anak angkat pewaris berhak atas
barang gawan yang diperoleh dari usaha pewaris sendiri dan tidak perlu dibagi
dengan ahli waris ke samping.
10.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 46
K/SIP/1969
Tanggal
: 6 Juni 1971
Kaidah
Hukum :
-
Putusan Pengadilan Tinggi salah, karena memutus hal-hal
yang tidak dituntut.
-
Dalam
perkara perdata, walaupun ada tiga orang minta banding dan banding dari seorang
saja yang dapat diterima sedang yang lainnya secara formal tidak dapat
diterima, perkara itu tetap diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan para
Pembanding yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima itu.
11.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 74
K/SIP/1969
Tanggal
: 14 Juni 1969
Kaidah
Hukum :
Penilaian uang harus dilakukan
dengan menggunakan harga emas.
12.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 93 K/SIP/1969
Tanggal
: 19 April 1969
Kaidah
Hukum :
Mahkamah Agung tidak dapat
menggantungkan putusannya pada suatu putusan yang masih akan dijatuhkan.
13.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 392
K/SIP/1969
Tanggal
: 30 Agustus 1969
Kaidah
Hukum :
1) Pembagian harta guna kaya antara
bekas suami istri masing-masing 50%.
2) Pemeliharaan anak-anaknya yang belum
dewasa diserahkan kepada si ibu.
3) Biaya penghidupan, pendidikan, dan
pemeliharaan anak-anak tersebut juga dibebankan kepada ayah dan ibu,
masing-masing 50%.
14.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 638
K/SIP/1969
Tanggal
: 22 Juli 1970
Kaidah
Hukum :
Mahkamah Agung perlu untuk meninjau
keputusan Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi yang kurang cukup dipertimbangkan
(onvoldoende gemotiveerd).
15.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 182
K/SIP/1970
Tanggal
: 10 Maret 1971
Kaidah
Hukum :
Tentang pelaksanaan pembagian harta
warisan yang belum terbagi, hukum adat yang harus diberlakukan adalah hukum
adat (yurisprudensi) yang berlaku pada waktu pembagian tersebut dilaksanakan,
bukan hukum adat yang berlaku pada waktu meninggalnya pewaris.
Catatan
Penulis :
Pada buku yang penulis baca terdapat
kasus persis dengan nomor 182 K/SIP/1971, oleh karenanya perlu ditelusuri
kembali perihal mana nomor ya benar.
16.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 475
K/SIP/1970
Tanggal
: 3 Juni 1970
Kaidah
Hukum :
Jual-beli menurut hukum adat sudah
terjadi sejak perjanjian jual-beli tersebut diikuti dengan pencicilannya.
Dengan demikian, jual-beli antara Penggugat dan Tergugat I adalah sah,
sedangkan jual-beli antara Tergugat I dan Tergugat II adalah tidak sah.
Catatan
Penulis :
Asas hukum adat adalah Religio Magis
(Magisch-Religieus), Komunal, Kontan (Tunai), Konkret. Berkaca dari hal
itu, maka seharusnya tidak ada diikuti dengan pencicilan, melainkan sudah
dibayar kontan (tunai/lunas). Bandingkan pula dengan Yurisprudensi Nomor 952
K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975 yang menyebut : “jual-beli dilakukan menurut hukum adat secara riil, ‘kontan’, dan
diketahui oleh kepala kampung.”.
Perihal hal ini perlu dibaca kembali
isi yurisprudensi tersebut.
17.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 810
K/SIP/1970
Tanggal
: 6 Maret 1971
Kaidah
Hukum :
Ketentuan pasal 1 ayat 1 Perpu
56/1969, yang menentukan bahwa gadai tanah pertanian yang telah berlangsung 7
tahun atau lebih harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa pembayaran uang
tebusan, adalah bersifat memaksa dan tidak dapat dilunakkan, hanya karena telah
diperjanjikan antara kedua belah pihak yang bersangkutan.
18.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 140
K/SIP/1971
Tanggal
: 12 Agustus 1972
Kaidah
Hukum :
Janda cerai mempunyai hak yang sama
dengan janda mati terhadap barang-barang peninggalan suaminya yang telah
meninggal dunia yang belum terbagi.
Catatan
Penulis :
Perlu ditelusuri kembali perkara
dalam yurisprudensi tersebut, apakah berbicara mengenai harta peninggalan yang
belum dibagi harta bersama dalam perkawinan (gono-gininya) ataukah harta
peninggalan dalam arti warisan. Kemudian, menurut Pasal 832 KUHPerdata yang
menjadi ahli waris adalah “suami atau isteri yang hidup terlama” bukan “mantan
suami atau isteri”.
19.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 144
K/SIP/1971
Tanggal
: 27 Juni 1973
Kaidah
Hukum :
Penetapan mengenai ahli waris dan
warisan dalam penetapan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 14 April 1956 No.
43/1955/Pdt. Dan dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 23 November
1965 No. 66/1962/Pdt. Bukan merupakan ne
bis in idem, oleh karena penetapan No. 43/1955/Pdt. Tersebut hanya bersifat
deklaratoir, sedang dalam putusan No. 66/1962/Pdt. tersebut ada sengketa
pihak-pihak yang berkepentingan.
Catatan
Penulis :
Pada buku yang penulis baca terdapat
kasus persis dengan nomor 144 K/SIP/1972, oleh karenanya perlu ditelusuri
kembali kebenaran nomornya. Begitu pula tanggal 23 atau 11 November 1965.
20.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 208
K/SIP/1971
Tanggal
: 17 Juni 1971
Kaidah
Hukum :
Berdasarkan yurisprudensi, perbedaan
harga mata uang lama dengan mata uang baru dinilai menurut harga emas dengan
membebankan risikonya kepada kedua belah pihak secara setengah-setengah, akan
tetapi dalam hal ini, seluruh risiko dibebankan kepada tergugat, karena ia yang
bersalah, yaitu telah melepaskan hak Penggugat secara sepihak.
21.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 332
K/SIP/1971
Tanggal
: 10 Juli 1971
Kaidah
Hukum :
Putusan Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri harus dibatalkan karena pada waktu putusan Pengadilan Negeri
diucapkan, sebenarnya belumlah jelas siapa dari ahli waris Tergugat-asal yang
akan meneruskan kedudukannya sebagai Tergugat-asal.
22.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 383
K/SIP/1971
Tanggal
: 3 Nopember 1971
Kaidah
Hukum :
1)
Tidak
dimintakannya pembatalan sertifikat hak milik dalam hal ini tidak mengakibatkan
tidak dapat diterimanya gugatan.
2)
Menyatakan
batal surat bukti hak milik yang dikeluarkan oleh instansi Agraria secara sah
tidak termasuk wewenang pengadilan, melainkan semata-mata termasuk wewenang
administrasi.
3)
Pembatalan
surat bukti harus diminta oleh pihak yang dimenangkan pengadilan kepada
Instansi Agraria berdasarkan putusan pengadilan yang diperolehnya.
23.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 429
K/SIP/1971
Tanggal
: 10 Juli 1971
Kaidah
Hukum :
Gugatan terhadap almarhum
Tergugat-asal dianggap diteruskan terhadap para ahli warisnya, bilamana pihak
Penggugat tidak menaruh keberatan terhadap kemauan para ahli waris almarhum
untuk meneruskan perkara dari almarhum Tergugat-asal.
24.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 556
K/SIP/1971
Tanggal
: 8 Januari 1972
Kaidah
Hukum :
Mengabulkan lebih dari yang digugat
diizinkan, selama hal ini masih sesuai dengan kejadian materiil. Pengadilan
Tinggi berwenang mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri, jika
pertimbangan itu dianggap benar. Meskipun seorang istri berstatus warga Negara
Indonesia, tapi karena ia kawin dengan suami berkebangsaan asing, maka
berdasarkan hukum, yang berlaku untuk si suami adalah hukum Barat, dan ia hidup
dalam lingkungan hukum suaminya. Maka terhadapnya berlaku hukum Barat.
25.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 665K/SIP/1971
Tanggal
: 15 Desember 1971
Kaidah
Hukum :
Dalam mempertimbangkan suatu perkara
dengan menunjuk pada suatu putusan yang belum jelas, apakah putusan itu telah
mempunyai kekuatan hukum atau belum, kurang tepat dipakai sebagai dasar
pengambilan keputusan.
26.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1346
K/SIP/1971
Tanggal
: 23 Juli 1973
Kaidah
Hukum :
Bantahan (verzet) terhadap conservatoir
beslag bersifat insidentil, sehingga kalau diterima sebagai bantahan, maka
seharusnya diperiksa tersendiri (insidentil) dengan menunda pemeriksaan
terhadap pokok perkara, sehingga kedua perkara tersebut tidak dapat disatukan,
apalagi dengan 2 nomor.
27.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1363
K/SIP/1971
Tanggal
: 27 Mei 1972
Kaidah
Hukum :
1)
Ketentuan
dalam pasal 19 PP 10/1961 tidak bermaksud untuk mengesampingkan pasal-pasal KUH
Perdata atau ketentuan hukum tidak tertulis mengenai jual-beli.
2)
Tuntutan
mengenai pengosongan rumah karena pemutusan sewa-menyewa masuk wewenang Kantor
Urusan Perumahan, akan tetapi dalam hal pengosongan atas dasar jual-beli,
pengadilan berwenang memeriksanya.
Catatan
Penulis :
Bandingkan dengan :
-
Yurisprudensi
Nomor 952 K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975
-
Yurisprudensi
Nomor 126 K/SIP/1976 tertanggal 4 April 1978
-
Yurisprudensi
Nomor 544 K/SIP/1976 tertanggal 26 Juni 1979
-
Yurisprudensi
Nomor 665 K/SIP/1979 tertanggal 22 Juli 1980
-
Yurisprudensi
Nomor 992 K/SIP/1976 tertanggal 14 April 1980
28.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 27 K/SIP/1972
Tanggal
: 5 Juli 1972
Kaidah
Hukum :
Apakah suatu perbuatan merupakan
penghinaan adalah suatu persoalan hukum yang termasuk wewenang pengadilan
kasasi untuk menilainya. Isi maupun format suatu iklan tidak dapat dikatakan
mengandung penghinaan atau mencemarkan nama baik seseorang selama tidak
melampaui batas yang perlu untuk mencapai maksud dan tujuan pemasangan iklan
itu.
29.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 86
K/SIP/1972
Tanggal
: 30 Oktober 1976
Kaidah
Hukum :
Dengan adanya uang panjar saja,
belumlah ada jual-beli mengenai rumah sengketa.
Catatan
Penulis :
Jual-beli menurut Hukum Perdata
Barat sudah terjadi saat terjadi saat adanya kesepakatan tentang barang beserta
harga (vide Pasal 1458 KUHPerdata),
sehingga pengembalian panjar oleh
penjual ataupun uang panjar direlakan oleh pembeli untuk dimiliki penjual
sekalipun, tidak akan membatalkan jual-beli (vide Pasal 1464 KUHPerdata).
Hal berbeda ditemui dalam Hukum
Adat, dimana ada asas kontan (tunai), sehingga bila belum ada pembayaran lunas
dan hanya sekedar panjar, maka itu belum ada jual-beli. Pemberian panjar dalam
jual beli merupakan penegasan terhadap kehendak pembelian yang dalam waktu
dekat akan dilakukan.
Bahwa dengan demikian dalam perkara
ini perlu dibaca kembali pertimbangan dalam yurisprudensi tersebut.
30.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 266
K/SIP/1972
Tanggal
: 5 Agustus 1972
Kaidah
Hukum :
Permohonan kasasi diajukan sendiri
oleh Tergugat-asli/Pembanding/Penggugat untuk kasasi. Memori kasasi
ditandatangani oleh Zakaria Dt. Maruhun dan karenanya harus dianggap dibuat dan
diajukan olehnya, sedangkan dalam surat kuasa tidak disebutkan bahwa ia diberi
kuasa untuk mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi maupun mengajukan memori
kasasi, sehingga permohonan Tergugat-asli itu harus dianggap tidak disertai
memori kasasi dan dinyatakan tidak dapat diterima.
31.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 289 K/SIP/1972
Tanggal
: 22 Juli 1972
Kaidah
Hukum :
Besarnya suku bunga pinjaman adalah
sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama.
Catatan
Penulis :
Pada perkara ini diperjanjikan 20%
per bulan dan diputus PN 10% per bulan. Penggugat tidak banding dan kasasi
sehingga dianggap menerima putusan dalam pertimbangan MA. Sedangkan keberatan
Tergugat yang menganggap bunga itu terlalu tinggi ditolak MA.
32.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 334
K/SIP/1972
Tanggal
: 4 Oktober 1976
Kaidah
Hukum :
Judex
facti tidak boleh
mengubah dalil gugatan (posita) dari Penggugat (pasal 189 ayat 3 RBg. / pasal
178 ayat 3 HIR). Putusan Pengadilan yang tidak diucapkan di muka umum adalah
tidak sah dan harus dibatalkan (pasal 18 UU 14/1970).
Catatan
Penulis :
Pada perkara ini Penggugat tidak
dapat membuktikan dalilnya yaitu kalau tanah sengketa diambil dengan paksa,
sedangkan PT mendalilkan tanah sengketa dipinjam oleh Tergugat.
33.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 542
K/SIP/1972
Tanggal
: 15 September 1976
Kaidah
Hukum :
Dalam hal tidak ada anak, setengah
bagian dari harta warisan untuk janda dan setengah bagian lagi untuk keluarga
suami, atau seluruhnya dapat dinikmati oleh janda selama hidupnya atau selama
ia tidak kawin lagi.
34.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 704
K/SIP/1972
Tanggal
: 21 Mei 1973
Kaidah
Hukum :
Bagi para pihak yang tunduk pada
hukum Barat, apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi, perjanjian
jual-beli atas permohonan pihak yang dirugikan harus dinyatakan
batal/dibatalkan.
35.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 786
K/SIP/1972
Tanggal
: 3 Januari 1972
Kaidah
Hukum :
1)
Tidak
dipertimbangkannya memori banding oleh Pengadilan Tinggi tidak dapat
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, karena dalam tingkat banding suatu
perkara diperiksa kembali secara keseluruhan.
2)
Pengadilan
Tinggi berwenang mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri yang dianggap
telah benar.
3)
Tambahan
sumpah adalah wewenang judex facti
dan tidaklah pada tempatnya diajukan pada pemeriksaan tingkat kasasi.
36.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 665
K/SIP/1973
Tanggal
: -
Kaidah
Hukum :
Satu surat bukti saja, tanpa
dikuatkan dengan alat bukti lain, tidak dapat diterima sebagai pembuktian.
Pengakuan Tergugat yang dikuatkan oleh akta notaris harus dianggap bukti cukup
untuk membenarkan keadaan yang diakui Tergugat.
Catatan
Penulis :
Tanggal putusan perlu dicari.
37.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 804
K/SIP/1973
Tanggal
: 4 Desember 1975
Kaidah
Hukum :
Tergugat dihukum untuk membayar uang
utang pokok ditambah bunga 6% sebulan, karena jumlah bunga sekian persen itu
merupakan bunga yang lazim pada saat perjanjian diadakan.
38.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1061
K/SIP/1973
Tanggal
: 16 Oktober 1975
Kaidah
Hukum :
Dalam jual-beli tidak ada persoalan
bunga, maka tuntutan Penggugat mengenai bunga 6% sebulan karena keterlambatan
pembayaran oleh Tergugat selaku pembeli tidak dapat dikabulkan.
Catatan
Penulis :
Yurisprudensi ini serupa kaidahnya
dengan yurisprudensi perkara lain (yang tidak dimasukkan di dalam tulisan ini),
yaitu nomor 1729 K/SIP/1976 tertanggal 10 Mei 1979.
39.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1253
K/SIP/1973
Tanggal
: 14 Oktober 1976
Kaidah
Hukum :
Bunga diperjanjikan sebesar 20%
sebulan, sedangkan atas pertimbangan kemanusiaan dan keadilan, bunga yang
dikabulkan adalah 3% sebulan, sesuai dengan bunga pinjaman pada Bank Negara
pada saat perjanjian dilangsungkan.
40.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 196
K/SIP/1974
Tanggal
: 7 Oktober 1976
Kaidah
Hukum :
Dalam menilai jumlah ganti rugi
karena penghinaan perlu ditinjau kedudukan sosial (kemasyarakatan) pihak yang
dihina.
41.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 718
K/SIP/1974
Tanggal
: 14 Desember 1976
Kaidah
Hukum :
Harta firma yang telah bubar tidak
dapat berubah menjadi harta pribadi selama belum diadakan vereffening.
42.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 952
K/SIP/1974
Tanggal
: 27 Mei 1975
Kaidah
Hukum :
1)
Jual-Beli
adalah sah apabila telah memenuhi syarat dalam KUHPerdata atau hukum adat, i.c. jual-beli dilakukan menurut hukum
adat secara riil, kontan, dan diketahui oleh kepala kampung.
2)
Syarat
dalam pasal 19 PP 10/1961 tidak mengesampingkan syarat untuk jual-beli dalam
KUHPerdata/hukum adat, melainkan hanya merupakan syarat bagi Pejabat Agraria.
Catatan
Penulis :
Bandingkan dengan :
-
Yurisprudensi
Nomor 1363 K/SIP/1971 tertanggal 27 Mei 1972
-
Yurisprudensi
Nomor 126 K/SIP/1976 tertanggal 4 April 1978
-
Yurisprudensi
Nomor 544 K/SIP/1976 tertanggal 26 Juni 1979
-
Yurisprudensi
Nomor 665 K/SIP/1979 tertanggal 22 Juli 1980
-
Yurisprudensi
Nomor 992 K/SIP/1976 tertanggal 14 April 1980
43.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1245
K/SIP/1974
Tanggal
: 9 Nopember 1976
Kaidah
Hukum :
1)
Pelaksanaan
dan tafsiran suatu perjanjian tidak dapat didasarkan semata-mata atas kata-kata
dalam perjanjian tersebut, in casu
berdasarkan sifat dari bangunan lantai atas (loods), maka hal ini merupakan suatu bistendingen gebruikelijk beding terhadap pasal 10 dari perjanjian
antara Penggugat dan Tergugat I (pasal 1347 jo. Pasal 1339 KUHPerdata).
2)
Pada
asasnya mengabulkan lebih dari yang diminta dalam petitum, menurut
yurisprudensi, dapat diberikan asalkan tidak menyimpang dari posita.
44.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1341
K/SIP/1974
Tanggal
: 6 April 1978
Kaidah
Hukum :
Pengadilan tidak berwenang untuk
memeriksa dan mengadili permohonan penetapan hak atas tanah tanpa adanya
sengketa atas hak tersebut.
45.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1650
K/SIP/1974
Tanggal
: 13 Nopember 1979
Kaidah
Hukum :
1)
Menurut
hukum, peralihan agama tidak menyebabkan batalnya/gugurnya perkawinan (pasal 72
HOCI).
2)
Berdasarkan
pasal 66 UU 1/1974 jo. Pasal 47 PP 9/1975, pasal 72 HOCI tersebut masih
berlaku, karena hal ini belum diatur dalam UU Perkawinan yang baru dan
Peraturan Pemerintahnya.
46.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 157
K/SIP/1975
Tanggal
: 18 September 1976
Kaidah
Hukum :
Hak Penggugat untuk menggugat
tanahnya yang telah lama dikuasai oleh Tergugat tidak terkena kedaluarsa.
47.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 307
K/SIP/1975
Tanggal
: 29 September 1976
Kaidah
Hukum :
Perlawanan terhadap keputusan verstek tidak boleh diperiksa dan
diputus sebagai perkara baru.
48.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 400
K/SIP/1975
Tanggal
: 27 Oktober 1976
Kaidah
Hukum :
Barang gana-gini harus jatuh pada
anak kandung, bukan kepada anak gawan, oleh karena itu hibah tanpa pengetahuan
yang berkepentingan patut dibatalkan.
49.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 731
K/SIP/1975
Tanggal
: 16 Desember 1976
Kaidah
Hukum :
1)
Judex factie mempunyai pengertian yang salah
mengenai istilah intervenient (intervensi)
dari Pembantah.
Intervenient
(i.c. tussenkomst)
adalah pihak ketiga yang tadinya berdiri di luar acara sengketa ini, kemudian
diizinkan masuk dalam acara yang sedang berjalan untuk membela kepentingannya
sendiri.
Sedangkan Pembantah (dalam perkara
ini) adalah pihak ketiga yang membela kepentingannya sendiri, tetapi berada di
luar acara yang sedang berjalan dan perkaranya tidak disatukan dengan perkara
pokok antara Penggugat dan Tergugat.
Oleh karena itu, intervenient tidak dapat merangkap
menjadi Pembantah dalam satu perkara yang sama.
2)
Dalam
berita acara sidang pemeriksaan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Barat
diperiksa 2 (dua) orang saksi secara bersama-sama dan sekaligus.
Hal ini bertentangan dengan pasal
144 (1) RID (salah menerapkan hukum) sehingga kedua keterangan saksi tersebut
tidak dapat dipergunakan.
Ratio dari pasal 144 (1) RID ialah
agar kedua saksi tidak dapat menyesuaikan diri dengan keterangannya
masing-masing, sehingga diperoleh keterangan saksi yang objektif dan bukan
keterangan saksi yang sudah bersepakat mengatakan hal-hal yang sama mengenai
sesuatu hal.
3)
Ketentuan-ketentuan
dalam pasal 1813 KUHPerdata tidak bersifat limitataif juga tidak mengikat,
yaitu kalau sifat dari perjanjian memang menghendaki, maka tidak dapat dicabut
kembali. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya pasal-pasal dari Hukum
Perjanjian bersifat hukum yang mengatur.
Mengenai pemberian kuasa yang tidak
dapat dicabut dan juga tidak batal karena meninggalnya pemberi kuasa, di
Indonesia telah merupakan suatu bestendig
en gubruikelijk beding sehingga tidak bertentangan dengan UU, yaitu pasal
1339 dan pasal 1347 dan seterusnya KUHPerdata.
50.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 861
K/SIP/1975
Tanggal
: 9 Agustus 1979
Kaidah
Hukum :
Perbuatan hukum yang dilakukan janda
atas harta peninggalan suaminya tanpa persetujuan ahli waris kepurusa, dapat
dibenarkan karena perbuatan tersebut adalah untuk kepentingan yang patut dan
tidak merugikan budel warisan.
51.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1149
K/SIP/1975
Tanggal
: 17 April 1979
Kaidah
Hukum :
Karena dalam surat gugatan tidak
disebut dengan jelas letak dan batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat
diterima.
52.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1375
K/SIP/1975
Tanggal
: 27 Nopember 1976
Kaidah
Hukum :
Oleh karena tuntutan ganti rugi yang
didalilkan oleh Penggugat dan disebutkan dalam petitum gugatan, tetapi tidak
diperiksa dan diputus oleh judex facti,
maka Pengadilan Negeri diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan tambahan
mengenai hal tersebut.
53.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 126
K/SIP/1976
Tanggal
: 4 April 1978
Kaidah
Hukum :
Untuk sahnya jual-beli tanah, tidak
mutlak harus ada akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
Akta Pejabat itu hanyalah suatu alat
bukti.
Catatan
Penulis :
Bandingkan dengan :
-
Yurisprudensi
Nomor 1363 K/SIP/1971 tertanggal 27 Mei 1972
-
Yurisprudensi
Nomor 952 K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975
-
Yurisprudensi
Nomor 544 K/SIP/1976 tertanggal 26 Juni 1979
-
Yurisprudensi
Nomor 665 K/SIP/1979 tertanggal 22 Juli 1980
-
Yurisprudensi
Nomor 992 K/SIP/1976 tertanggal 14 April 1980
54.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 177
K/SIP/1976
Tanggal
: 26 Oktober 1976
Kaidah
Hukum :
Di dalam putusan, orang-orang yang
tidak merupakan pihak dalam perkara tidak dapat dinyatakan sebagai ahli waris.
55.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 263
K/SIP/1976
Tanggal
: 13 Nopember 1978
Kaidah
Hukum :
Karena tanah sengketa merupakan
harta bersama suami-isteri Tergugat I dan Tergugat II, untuk menjual tanah
tersebut Tergugat I harus mendapatkan persetujuan isterinya.
56.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 307
K/SIP/1976
Tanggal
: 7 Desember 1976
Kaidah
Hukum :
Tuntutan akan uang paksa harus
ditolak dalam hal putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil apabila
keputusan yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
Catatan
Penulis :
Selainnya eksekusi yang diatur dalam
Pasal 196 HIR tentang penghukuman pembayaran sejumlah uang dan eksekusi yang
diatur dalam Pasal 225 HIR tentang penghukuman pelaksanaan suatu perbuatan,
maka ada pula eksekusi riil yang tidak diatur HIR, namun dalam Pasal 1033 RV :
“Bila putusan untuk pengosongan barang tidak bergerak
harus dan debitur, setelah diberi peringatan seperti yang dimaksud dalam pasal
999, tidak memenuhi putusan tersebut dalam jangka waktu yang telah ditetapkan
itu, maka residentierechter mengeluarkan perintah tertulis kepada pegawai yang
berwenang untuk menjalankan eksplot, dibantu dengan cara seperti yang
disebutkan dalam pasal 1000, jika perlu dengan menggunakan tangan besi dari
yang berwenang untuk itu, untuk memindahkan debitur tempat itu dan mengosongkan
rumah atau barang tidak bergerak lainnya.”
Lain halnya daripada eksekusi
sebagaimana Pasal 225 HIR yang dapat dikenakan dwangsom, maka eksekusi riil ini
tidak dapat dikenakan dwangsom. Hal
ini wajar mengingat eksekusi riil bisa dilakukan “pemaksaan secara nyata”
terhadap dilaksanakannya suatu perbuatan (pengosongan), sedang dalam eksekusi
Pasal 225 HIR, seseorang tidak bisa “dipaksa” untuk melakukan sesuatu, sehingga
menggunakan dwangsom untuk memaksanya
dan nantinya nilai dwangsom itu yang
bisa dieksekusi dan dilelang.
57.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 544
K/SIP/1976
Tanggal
: 26 Juni 1979
Kaidah
Hukum :
Berdasarkan pasal 19 PP 10/1961,
setiap pemindahan hak atas tanah harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, setidak-tidaknya di hadapan Kepala Desa yang bersangkutan (dalam
kasus ini tukar-menukar rumah/tanah hanya dilakukan secara di bawah tangan di
Surabaya, walaupun kemudian disahkan oleh Kepala Kecamatan Tanimbar Utara).
Catatan
Penulis :
Bandingkan dengan :
-
Yurisprudensi
Nomor 1363 K/SIP/1971 tertanggal 27 Mei 1972
-
Yurisprudensi
Nomor 952 K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975
-
Yurisprudensi
Nomor 126 K/SIP/1976 tertanggal 4 April 1978
-
Yurisprudensi
Nomor 665 K/SIP/1979 tertanggal 22 Juli 1980
-
Yurisprudensi
Nomor 992 K/SIP/1976 tertanggal 14 April 1980
Bahwa yang perlu diperhatikan dalam
perkara ini, asas dalam hukum adat tidak terpenuhi, yakni asas konkret (terang
dan nyata secara visual) artinya diketahui oleh umum in casu Kepala Desa ybs. Adapun bunyi dari Pasal 19 PP 10/1961 :
“Setiap
pejanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak
baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah
sebagai tanggungan, ‘harus dibuktikan’ dengan suatu akte yang dibuat oleh dan
dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria.”
Ada perbedaan antara “harus
dibuktikan” dengan “harus dilakukan”.
58.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1002
K/SIP/1976
Tanggal
: 13 April 1978
Kaidah
Hukum :
Harta gana-gini yang telah dibagi
antara Pak Kertodirjo dan Bok Kertodirjo, setelah mereka kawin kembali tetap
merupakan harta gana-gini dan bukan harta bawaan yang biasanya kembali kepada
keluarga masing-masing pihak. Oleh karena itu setelah Pak Kertodirjo meninggal,
Bok Kertodirjo sebagai janda dan Sugeng sebagai anak angkat berhak mewarisi
harta gana-gini tersebut.
59.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 147
K/SIP/1979
Tanggal
: 25 September 1980
Kaidah
Hukum :
Jual-beli tanah/rumah tidak sah,
karena ternyata dari kesaksian kuasa penjual sendiri, Para Tergugat-asal bukan
pembeli sebenarnya, melainkan hanya namanya yang dipinjamkan, sedangkan pembeli
sebenarnya adalah Penggugat-asal yang pada waktu itu masih warga Negara asing.
Dengan demikian perjanjian jual-beli tersebut mengandung suatu sebab yang
dilarang oleh undang-undang (ongeoorloofde
oorzaak), yaitu ingin menyelundupi ketentuan larangan tersebut dalam pasal
5 jo. 21 UUPA.
Catatan
Penulis :
Lihat pula jual-beli proforma (pura-pura)
sebagaimana dalam Yurisprudensi Nomor 3201
K/PDT/1991 tertanggal 30 Januari 1996, berikut tanggapan Penulis akan jual-beli
proforma ini.
60.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 665
K/SIP/1979
Tanggal
: 22 Juli 1980
Kaidah
Hukum :
Dengan telah terjadinya jual-beli
antara penjual dan pembeli yang diketahui oleh Kepala Kampung yang bersangkutan
dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi serta diterimanya harga pembelian oleh
penjual, maka jual-beli itu sudah sah menurut hukum, sekalipun belum
dilaksanakan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Catatan
Penulis :
Bandingkan dengan :
-
Yurisprudensi
Nomor 1363 K/SIP/1971 tertanggal 27 Mei 1972
-
Yurisprudensi
Nomor 952 K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975
-
Yurisprudensi
Nomor 126 K/SIP/1976 tertanggal 4 April 1978
-
Yurisprudensi
Nomor 544 K/SIP/1976 tertanggal 26 Juni 1979
-
Yurisprudensi
Nomor 992 K/SIP/1976 tertanggal 14 April 1980
61.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 992 K/SIP/1979
Tanggal
: 14 April 1980
Kaidah
Hukum :
Semenjak akta jual-beli
ditandatangani di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah, hak milik atas tanah yang
dijual beralih kepada pembeli.
Catatan
Penulis :
Bandingkan dengan :
-
Yurisprudensi
Nomor 1363 K/SIP/1971 tertanggal 27 Mei 1972
-
Yurisprudensi
Nomor 952 K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975
-
Yurisprudensi
Nomor 126 K/SIP/1976 tertanggal 4 April 1978
-
Yurisprudensi
Nomor 544 K/SIP/1976 tertanggal 26 Juni 1979
-
Yurisprudensi
Nomor 665 K/SIP/1979 tertanggal 22 Juli 1980
62.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1281
K/SIP/1979
Tanggal
: 15 April 1981
Kaidah
Hukum :
Bantahan terhadap eksekusi yang
diajukan setelah eksekusi itu dilaksanakan tidak dapat diterima.
Catatan
Penulis :
Bahwa yang dimaksud “eksekusi
dilaksanakan” bukan pada sita eksekusi, namun eksekusi yang sebenarnya, dimana
kalau sudah beralih kepada pembeli lelang kalau dijual lelang ataupun sudah
diserahkan kepada pihak yang menang. Hal ini disebutkan dalam buku Ny.
RETNOWULAN SUTANTIO dan ISKANDAR OERIPKARTAWINATA berjudul Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, tahun 1997, Cetakan ke-VIII, Penerbit CV Mandar Maju,
Bandung, hlm. 176. Acuan yurisprudensi yang serupa menurut buku tersebut
putusan MA tanggal 24 Januari 1980 No. 393 K/SIP/1975 termuat dalam
Yurisprudensi Indonesia 1979-1, halaman 224.
63.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1282 K/SIP/1979
Tanggal
: 20 Desember 1979
Kaidah
Hukum :
Dalam gugatan perceraian, ibu
kandung dan pembantu rumah tangga salah satu pihak dapat didengar sebagai
saksi.
Catatan
Penulis :
Pasal 145 ayat (2) HIR sebenarnya
sejalan dengan kaidah ini karena “keadaan status perkawinan” adalah “keadaan
menurut hukum sipil”. Selain itu dalam perkara perburuhan keluarga sedarah dan
semenda juga tidak bisa ditolak sebagai saksi.