Kamis, 26 Mei 2016

Yurisprudensi beserta komentar (Buku 1)



YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

(Pilihan Penulis)

Sumber :
Penerbit PT PILAR YURIS UTAMA, Jakarta, Cetakan Pertama, 2009


BUKU 1
PERDATA (s.d. th. 1979)

1.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 38 K/SIP/1967
Tanggal : 17 Mei 1967
Kaidah Hukum :
Lembaga uang paksa, sekalipun tidak secara khusus diatur dalam HIR, harus dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR, maka berdasarkan penafsiran yang lazim dari Pasal 393 HR, lembaga tersebut dapat diterapkan dalam acara yang berlaku dalam Peradilan Umum.

Catatan Penulis :
Pasal 393 HR mungkin maksudnya Herziene Indlansche Reglement (HIR).
Pasal 606a RV :
Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain daripada membayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan, bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besamya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa.”
Uang paksa (dwangsom/astreinte) ini merupakan suatu cara agar seseorang “dipaksa” untuk melaksanakan suatu perbuatan, yaitu dengan menghukumnya membayar sejumlah uang tertentu apabila perbuatan yang “dipaksakan” tidak dilaksanakannya. Bahwa dalam persoalan pembayaran ganti rugi berupa uang, dwangsom sudah tepat tidak diberlakukan, karena putusan berupa ganti rugi sejumlah uang dapat langsung dinilai dan dieksekusi. Bayangkan apabila dwangsom dikabulkan untuk ganti rugi sejumlah uang, maka pihak yang menang justru tidak mau menerima pembayaran uang ganti rugi demi memperoleh dwangsom yang semakin besar.
Lebih lanjut tentang dwangsom ini, ada hal yang menarik bila mencermati putusan Hof Amsterdam (Pengadilan Amsterdam) tanggal 6 Nopember 1971 (NJ 1971, 93). Awalnya suami dihukum membayar alimentasi ke isteri. Ternyata sang suami sering lalai dan menunda pembayaran alimentasi yang seharusnya dibayar setiap bulan. Si isteri kemudian mengajukan gugatan, dimana agar bisa diterapkan dwangsom, si isteri tidak secara langsung meminta agar suami tersebut dihukum membayar sejumlah uang, tetapi ia menuntut agar hakim menjatuhkan larangan untuk menunda pembayaran alimentasi, dengan menerapkan dwangsom setiap kali ia melanggar larangan tersebut. Hof Amsterdam mempertimbangkan bahwa inti gugatan isteri tersebut adalah untuk memperkuat, agar sang suami dalam penyelenggaraan kewajibannya membayar alimentasi tepat pada waktunya, sedang undang-undang hanya melarang dwangsom pada pembayaran sejumlah uang, sehingga hakim  dalam kasus tersebut menjatuhkan pula suatu dwangsom.

2.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 100 K/SIP/1967
Tanggal : 14 Juni 1968
Kaidah Hukum :
Mengingat masyarakat menuju persamaan kedudukan pria-wanita dan penetapan janda sebagai ahli waris telah merupakan yurisprudensi, maka putusan PT mengenai pembagian waris dalam perkara ini dipandang tepat.

3.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 116 K/SIP/1967
Tanggal : 31 Januari 1968
Kaidah Hukum :
Sudah tepat pertimbangan PT, bahwa bagi kedua belah pihak dalam perkara ini, sebagai orang Arab atau keturunan Arab, tidak diberlakukan BW, melainkan hukum adat Indonesia atau hukum Islam, dan dalam hukum adat maupun hukum Islam tidak dijumpai larangan untuk menjual kepada pihak ketiga suatu hak atas bagian harta waris yang pembagiannya belum dilaksanakan.

4.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 145 K/SIP/1967
Tanggal : 6 Desember 1967
Kaidah Hukum :
Hakikat dari asas ne bis in idem adalah bahwa pihak-pihak yang berperkara adalah sama dan barang yang dipersengketakan adalah juga sama.

5.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 89 K/SIP/1968
Tanggal : 9 Oktober 1968
Kaidah Hukum :
Seorang janda, selama tidak kawin lagi, berhak menguasai selama hidupnya gana-gini untuk jaminan penghidupannya. Dalam perkara ini tidak dapat disetujui pendapat PT dan PN yang telah membagi barang-barang sengketa diantara saudara almarhum dan janda almarhum.

6.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 350 K/SIP/1968
Tanggal : 3 Mei 1969
Kaidah Hukum :
Dalam hal seseorang menjual lagi suatu barang kepada pembeli kedua dan menyerahkan barang tersebut secara yuridis kepada pembeli kedua tersebut, maka pembeli kesatu hanya dapat menuntut penggantian kerugian atau pembatalan perjanjian jual beli disertai penggantian kerugian berdasarkan wanprestasi yang dilakukan oleh penjual; tidak mungkin baginya untuk menuntut pernyataan bahwa ia adalah pemilik barang sengketa/memaksa penjual membuat surat jual beli di muka notaris dan menyerahkan barang yang sudah beralih menjadi hak milik orang lain.

7.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 439 K/SIP/1968
Tanggal : 8 Januari 1969
Kaidah Hukum :
Tuntutan tentang pengembalian barang warisan yang di tangan pihak ketiga kepada para ahli waris yang berhak tidak perlu diajukan oleh semua ahli waris.

8.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 610 K/SIP/1968
Tanggal : 23 Mei 1970
Kaidah Hukum :
Meskipun jumlah tuntutan ganti kerugian dianggap tidak pantas, sedangkan Penggugat secara mutlak menuntut sejumlah itu, hakim berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus dibayar, hal itu tidak melanggar Pasal 178 (3) HIR (ex aequo et bono).

9.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 679 K/SIP/1968
Tanggal : 24 Desember 1969
Kaidah Hukum :
Anak angkat pewaris berhak atas barang gawan yang diperoleh dari usaha pewaris sendiri dan tidak perlu dibagi dengan ahli waris ke samping.

10.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 K/SIP/1969
Tanggal : 6 Juni 1971
Kaidah Hukum :
-          Putusan Pengadilan Tinggi salah, karena memutus hal-hal yang tidak dituntut.
-          Dalam perkara perdata, walaupun ada tiga orang minta banding dan banding dari seorang saja yang dapat diterima sedang yang lainnya secara formal tidak dapat diterima, perkara itu tetap diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan para Pembanding yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima itu.

11.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 74 K/SIP/1969
Tanggal : 14 Juni 1969
Kaidah Hukum :
Penilaian uang harus dilakukan dengan menggunakan harga emas.

12.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 93 K/SIP/1969
Tanggal : 19 April 1969
Kaidah Hukum :
Mahkamah Agung tidak dapat menggantungkan putusannya pada suatu putusan yang masih akan dijatuhkan.

13.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 392 K/SIP/1969
Tanggal : 30 Agustus 1969
Kaidah Hukum :
1)      Pembagian harta guna kaya antara bekas suami istri masing-masing 50%.
2)      Pemeliharaan anak-anaknya yang belum dewasa diserahkan kepada si ibu.
3)      Biaya penghidupan, pendidikan, dan pemeliharaan anak-anak tersebut juga dibebankan kepada ayah dan ibu, masing-masing 50%.

14.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 638 K/SIP/1969
Tanggal : 22 Juli 1970
Kaidah Hukum :
Mahkamah Agung perlu untuk meninjau keputusan Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi yang kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd).

15.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 182 K/SIP/1970
Tanggal : 10 Maret 1971
Kaidah Hukum :
Tentang pelaksanaan pembagian harta warisan yang belum terbagi, hukum adat yang harus diberlakukan adalah hukum adat (yurisprudensi) yang berlaku pada waktu pembagian tersebut dilaksanakan, bukan hukum adat yang berlaku pada waktu meninggalnya pewaris.

Catatan Penulis :
Pada buku yang penulis baca terdapat kasus persis dengan nomor 182 K/SIP/1971, oleh karenanya perlu ditelusuri kembali perihal mana nomor ya benar.

16.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 475 K/SIP/1970
Tanggal : 3 Juni 1970
Kaidah Hukum :
Jual-beli menurut hukum adat sudah terjadi sejak perjanjian jual-beli tersebut diikuti dengan pencicilannya. Dengan demikian, jual-beli antara Penggugat dan Tergugat I adalah sah, sedangkan jual-beli antara Tergugat I dan Tergugat II adalah tidak sah.

Catatan Penulis :
Asas hukum adat adalah Religio Magis (Magisch-Religieus), Komunal, Kontan (Tunai), Konkret. Berkaca dari hal itu, maka seharusnya tidak ada diikuti dengan pencicilan, melainkan sudah dibayar kontan (tunai/lunas). Bandingkan pula dengan Yurisprudensi Nomor 952 K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975 yang menyebut : “jual-beli dilakukan menurut hukum adat secara riil, ‘kontan’, dan diketahui oleh kepala kampung.”.
Perihal hal ini perlu dibaca kembali isi yurisprudensi tersebut.

17.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 810 K/SIP/1970
Tanggal : 6 Maret 1971
Kaidah Hukum :
Ketentuan pasal 1 ayat 1 Perpu 56/1969, yang menentukan bahwa gadai tanah pertanian yang telah berlangsung 7 tahun atau lebih harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa pembayaran uang tebusan, adalah bersifat memaksa dan tidak dapat dilunakkan, hanya karena telah diperjanjikan antara kedua belah pihak yang bersangkutan.

18.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 K/SIP/1971
Tanggal : 12 Agustus 1972
Kaidah Hukum :
Janda cerai mempunyai hak yang sama dengan janda mati terhadap barang-barang peninggalan suaminya yang telah meninggal dunia yang belum terbagi.

Catatan Penulis :
Perlu ditelusuri kembali perkara dalam yurisprudensi tersebut, apakah berbicara mengenai harta peninggalan yang belum dibagi harta bersama dalam perkawinan (gono-gininya) ataukah harta peninggalan dalam arti warisan. Kemudian, menurut Pasal 832 KUHPerdata yang menjadi ahli waris adalah “suami atau isteri yang hidup terlama” bukan “mantan suami atau isteri”.

19.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 144 K/SIP/1971
Tanggal : 27 Juni 1973
Kaidah Hukum :
Penetapan mengenai ahli waris dan warisan dalam penetapan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 14 April 1956 No. 43/1955/Pdt. Dan dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 23 November 1965 No. 66/1962/Pdt. Bukan merupakan ne bis in idem, oleh karena penetapan No. 43/1955/Pdt. Tersebut hanya bersifat deklaratoir, sedang dalam putusan No. 66/1962/Pdt. tersebut ada sengketa pihak-pihak yang berkepentingan.

Catatan Penulis :
Pada buku yang penulis baca terdapat kasus persis dengan nomor 144 K/SIP/1972, oleh karenanya perlu ditelusuri kembali kebenaran nomornya. Begitu pula tanggal 23 atau 11 November 1965.

20.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 208 K/SIP/1971
Tanggal : 17 Juni 1971
Kaidah Hukum :
Berdasarkan yurisprudensi, perbedaan harga mata uang lama dengan mata uang baru dinilai menurut harga emas dengan membebankan risikonya kepada kedua belah pihak secara setengah-setengah, akan tetapi dalam hal ini, seluruh risiko dibebankan kepada tergugat, karena ia yang bersalah, yaitu telah melepaskan hak Penggugat secara sepihak.

21.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 332 K/SIP/1971
Tanggal : 10 Juli 1971
Kaidah Hukum :
Putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri harus dibatalkan karena pada waktu putusan Pengadilan Negeri diucapkan, sebenarnya belumlah jelas siapa dari ahli waris Tergugat-asal yang akan meneruskan kedudukannya sebagai Tergugat-asal.

22.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 383 K/SIP/1971
Tanggal : 3 Nopember 1971
Kaidah Hukum :
1)      Tidak dimintakannya pembatalan sertifikat hak milik dalam hal ini tidak mengakibatkan tidak dapat diterimanya gugatan.
2)      Menyatakan batal surat bukti hak milik yang dikeluarkan oleh instansi Agraria secara sah tidak termasuk wewenang pengadilan, melainkan semata-mata termasuk wewenang administrasi.
3)      Pembatalan surat bukti harus diminta oleh pihak yang dimenangkan pengadilan kepada Instansi Agraria berdasarkan putusan pengadilan yang diperolehnya.

23.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 429 K/SIP/1971
Tanggal : 10 Juli 1971
Kaidah Hukum :
Gugatan terhadap almarhum Tergugat-asal dianggap diteruskan terhadap para ahli warisnya, bilamana pihak Penggugat tidak menaruh keberatan terhadap kemauan para ahli waris almarhum untuk meneruskan perkara dari almarhum Tergugat-asal.

24.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 556 K/SIP/1971
Tanggal : 8 Januari 1972
Kaidah Hukum :
Mengabulkan lebih dari yang digugat diizinkan, selama hal ini masih sesuai dengan kejadian materiil. Pengadilan Tinggi berwenang mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri, jika pertimbangan itu dianggap benar. Meskipun seorang istri berstatus warga Negara Indonesia, tapi karena ia kawin dengan suami berkebangsaan asing, maka berdasarkan hukum, yang berlaku untuk si suami adalah hukum Barat, dan ia hidup dalam lingkungan hukum suaminya. Maka terhadapnya berlaku hukum Barat.

25.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 665K/SIP/1971
Tanggal : 15 Desember 1971
Kaidah Hukum :
Dalam mempertimbangkan suatu perkara dengan menunjuk pada suatu putusan yang belum jelas, apakah putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum atau belum, kurang tepat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan.

26.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1346 K/SIP/1971
Tanggal : 23 Juli 1973
Kaidah Hukum :
Bantahan (verzet) terhadap conservatoir beslag bersifat insidentil, sehingga kalau diterima sebagai bantahan, maka seharusnya diperiksa tersendiri (insidentil) dengan menunda pemeriksaan terhadap pokok perkara, sehingga kedua perkara tersebut tidak dapat disatukan, apalagi dengan 2 nomor.

27.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1363 K/SIP/1971
Tanggal : 27 Mei 1972
Kaidah Hukum :
1)      Ketentuan dalam pasal 19 PP 10/1961 tidak bermaksud untuk mengesampingkan pasal-pasal KUH Perdata atau ketentuan hukum tidak tertulis mengenai jual-beli.
2)      Tuntutan mengenai pengosongan rumah karena pemutusan sewa-menyewa masuk wewenang Kantor Urusan Perumahan, akan tetapi dalam hal pengosongan atas dasar jual-beli, pengadilan berwenang memeriksanya.
Catatan Penulis :
Bandingkan dengan :
-          Yurisprudensi Nomor 952 K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975
-          Yurisprudensi Nomor 126 K/SIP/1976 tertanggal 4 April 1978
-          Yurisprudensi Nomor 544 K/SIP/1976 tertanggal 26 Juni 1979
-          Yurisprudensi Nomor 665 K/SIP/1979 tertanggal 22 Juli 1980
-          Yurisprudensi Nomor 992 K/SIP/1976 tertanggal 14 April 1980

28.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 27 K/SIP/1972
Tanggal : 5 Juli 1972
Kaidah Hukum :
Apakah suatu perbuatan merupakan penghinaan adalah suatu persoalan hukum yang termasuk wewenang pengadilan kasasi untuk menilainya. Isi maupun format suatu iklan tidak dapat dikatakan mengandung penghinaan atau mencemarkan nama baik seseorang selama tidak melampaui batas yang perlu untuk mencapai maksud dan tujuan pemasangan iklan itu.

29.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 86 K/SIP/1972
Tanggal : 30 Oktober 1976
Kaidah Hukum :
Dengan adanya uang panjar saja, belumlah ada jual-beli mengenai rumah sengketa.

Catatan Penulis :
Jual-beli menurut Hukum Perdata Barat sudah terjadi saat terjadi saat adanya kesepakatan tentang barang beserta harga (vide Pasal 1458 KUHPerdata), sehingga pengembalian panjar  oleh penjual ataupun uang panjar direlakan oleh pembeli untuk dimiliki penjual sekalipun, tidak akan membatalkan jual-beli (vide Pasal 1464 KUHPerdata).
Hal berbeda ditemui dalam Hukum Adat, dimana ada asas kontan (tunai), sehingga bila belum ada pembayaran lunas dan hanya sekedar panjar, maka itu belum ada jual-beli. Pemberian panjar dalam jual beli merupakan penegasan terhadap kehendak pembelian yang dalam waktu dekat akan dilakukan.
Bahwa dengan demikian dalam perkara ini perlu dibaca kembali pertimbangan dalam yurisprudensi tersebut.


30.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 266 K/SIP/1972
Tanggal : 5 Agustus 1972
Kaidah Hukum :
Permohonan kasasi diajukan sendiri oleh Tergugat-asli/Pembanding/Penggugat untuk kasasi. Memori kasasi ditandatangani oleh Zakaria Dt. Maruhun dan karenanya harus dianggap dibuat dan diajukan olehnya, sedangkan dalam surat kuasa tidak disebutkan bahwa ia diberi kuasa untuk mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi maupun mengajukan memori kasasi, sehingga permohonan Tergugat-asli itu harus dianggap tidak disertai memori kasasi dan dinyatakan tidak dapat diterima.

31.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 289 K/SIP/1972
Tanggal : 22 Juli 1972
Kaidah Hukum :
Besarnya suku bunga pinjaman adalah sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama.

Catatan Penulis :
Pada perkara ini diperjanjikan 20% per bulan dan diputus PN 10% per bulan. Penggugat tidak banding dan kasasi sehingga dianggap menerima putusan dalam pertimbangan MA. Sedangkan keberatan Tergugat yang menganggap bunga itu terlalu tinggi ditolak MA.

32.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 334 K/SIP/1972
Tanggal : 4 Oktober 1976
Kaidah Hukum :
Judex facti tidak boleh mengubah dalil gugatan (posita) dari Penggugat (pasal 189 ayat 3 RBg. / pasal 178 ayat 3 HIR). Putusan Pengadilan yang tidak diucapkan di muka umum adalah tidak sah dan harus dibatalkan (pasal 18 UU 14/1970).

Catatan Penulis :
Pada perkara ini Penggugat tidak dapat membuktikan dalilnya yaitu kalau tanah sengketa diambil dengan paksa, sedangkan PT mendalilkan tanah sengketa dipinjam oleh Tergugat.

33.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 542 K/SIP/1972
Tanggal : 15 September 1976
Kaidah Hukum :
Dalam hal tidak ada anak, setengah bagian dari harta warisan untuk janda dan setengah bagian lagi untuk keluarga suami, atau seluruhnya dapat dinikmati oleh janda selama hidupnya atau selama ia tidak kawin lagi.

34.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 704 K/SIP/1972
Tanggal : 21 Mei 1973
Kaidah Hukum :
Bagi para pihak yang tunduk pada hukum Barat, apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi, perjanjian jual-beli atas permohonan pihak yang dirugikan harus dinyatakan batal/dibatalkan.

35.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 786 K/SIP/1972
Tanggal : 3 Januari 1972
Kaidah Hukum :
1)      Tidak dipertimbangkannya memori banding oleh Pengadilan Tinggi tidak dapat membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, karena dalam tingkat banding suatu perkara diperiksa kembali secara keseluruhan.
2)      Pengadilan Tinggi berwenang mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri yang dianggap telah benar.
3)      Tambahan sumpah adalah wewenang judex facti dan tidaklah pada tempatnya diajukan pada pemeriksaan tingkat kasasi.

36.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 665 K/SIP/1973
Tanggal : -
Kaidah Hukum :
Satu surat bukti saja, tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain, tidak dapat diterima sebagai pembuktian. Pengakuan Tergugat yang dikuatkan oleh akta notaris harus dianggap bukti cukup untuk membenarkan keadaan yang diakui Tergugat.

Catatan Penulis :
Tanggal putusan perlu dicari.

37.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 804 K/SIP/1973
Tanggal : 4 Desember 1975
Kaidah Hukum :
Tergugat dihukum untuk membayar uang utang pokok ditambah bunga 6% sebulan, karena jumlah bunga sekian persen itu merupakan bunga yang lazim pada saat perjanjian diadakan.

38.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1061 K/SIP/1973
Tanggal : 16 Oktober 1975
Kaidah Hukum :
Dalam jual-beli tidak ada persoalan bunga, maka tuntutan Penggugat mengenai bunga 6% sebulan karena keterlambatan pembayaran oleh Tergugat selaku pembeli tidak dapat dikabulkan.

Catatan Penulis :
Yurisprudensi ini serupa kaidahnya dengan yurisprudensi perkara lain (yang tidak dimasukkan di dalam tulisan ini), yaitu nomor 1729 K/SIP/1976 tertanggal 10 Mei 1979.

39.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1253 K/SIP/1973
Tanggal : 14 Oktober 1976
Kaidah Hukum :
Bunga diperjanjikan sebesar 20% sebulan, sedangkan atas pertimbangan kemanusiaan dan keadilan, bunga yang dikabulkan adalah 3% sebulan, sesuai dengan bunga pinjaman pada Bank Negara pada saat perjanjian dilangsungkan.

40.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 196 K/SIP/1974
Tanggal : 7 Oktober 1976
Kaidah Hukum :
Dalam menilai jumlah ganti rugi karena penghinaan perlu ditinjau kedudukan sosial (kemasyarakatan) pihak yang dihina.

41.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 718 K/SIP/1974
Tanggal : 14 Desember 1976
Kaidah Hukum :
Harta firma yang telah bubar tidak dapat berubah menjadi harta pribadi selama belum diadakan vereffening.

42.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 952 K/SIP/1974
Tanggal : 27 Mei 1975
Kaidah Hukum :
1)      Jual-Beli adalah sah apabila telah memenuhi syarat dalam KUHPerdata atau hukum adat, i.c. jual-beli dilakukan menurut hukum adat secara riil, kontan, dan diketahui oleh kepala kampung.
2)      Syarat dalam pasal 19 PP 10/1961 tidak mengesampingkan syarat untuk jual-beli dalam KUHPerdata/hukum adat, melainkan hanya merupakan syarat bagi Pejabat Agraria.

Catatan Penulis :
Bandingkan dengan :
-          Yurisprudensi Nomor 1363 K/SIP/1971 tertanggal 27 Mei 1972
-          Yurisprudensi Nomor 126 K/SIP/1976 tertanggal 4 April 1978
-          Yurisprudensi Nomor 544 K/SIP/1976 tertanggal 26 Juni 1979
-          Yurisprudensi Nomor 665 K/SIP/1979 tertanggal 22 Juli 1980
-          Yurisprudensi Nomor 992 K/SIP/1976 tertanggal 14 April 1980

43.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1245 K/SIP/1974
Tanggal : 9 Nopember 1976
Kaidah Hukum :
1)      Pelaksanaan dan tafsiran suatu perjanjian tidak dapat didasarkan semata-mata atas kata-kata dalam perjanjian tersebut, in casu berdasarkan sifat dari bangunan lantai atas (loods), maka hal ini merupakan suatu bistendingen gebruikelijk beding terhadap pasal 10 dari perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I (pasal 1347 jo. Pasal 1339 KUHPerdata).
2)      Pada asasnya mengabulkan lebih dari yang diminta dalam petitum, menurut yurisprudensi, dapat diberikan asalkan tidak menyimpang dari posita.

44.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1341 K/SIP/1974
Tanggal : 6 April 1978
Kaidah Hukum :
Pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan penetapan hak atas tanah tanpa adanya sengketa atas hak tersebut.

45.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1650 K/SIP/1974
Tanggal : 13 Nopember 1979
Kaidah Hukum :
1)      Menurut hukum, peralihan agama tidak menyebabkan batalnya/gugurnya perkawinan (pasal 72 HOCI).
2)      Berdasarkan pasal 66 UU 1/1974 jo. Pasal 47 PP 9/1975, pasal 72 HOCI tersebut masih berlaku, karena hal ini belum diatur dalam UU Perkawinan yang baru dan Peraturan Pemerintahnya.

46.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 157 K/SIP/1975
Tanggal : 18 September 1976
Kaidah Hukum :
Hak Penggugat untuk menggugat tanahnya yang telah lama dikuasai oleh Tergugat tidak terkena kedaluarsa.

47.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 307 K/SIP/1975
Tanggal : 29 September 1976
Kaidah Hukum :
Perlawanan terhadap keputusan verstek tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru.

48.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 400 K/SIP/1975
Tanggal : 27 Oktober 1976
Kaidah Hukum :
Barang gana-gini harus jatuh pada anak kandung, bukan kepada anak gawan, oleh karena itu hibah tanpa pengetahuan yang berkepentingan patut dibatalkan.

49.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 731 K/SIP/1975
Tanggal : 16 Desember 1976
Kaidah Hukum :
1)      Judex factie mempunyai pengertian yang salah mengenai istilah intervenient (intervensi) dari Pembantah.
Intervenient (i.c. tussenkomst) adalah pihak ketiga yang tadinya berdiri di luar acara sengketa ini, kemudian diizinkan masuk dalam acara yang sedang berjalan untuk membela kepentingannya sendiri.
Sedangkan Pembantah (dalam perkara ini) adalah pihak ketiga yang membela kepentingannya sendiri, tetapi berada di luar acara yang sedang berjalan dan perkaranya tidak disatukan dengan perkara pokok antara Penggugat dan Tergugat.
Oleh karena itu, intervenient tidak dapat merangkap menjadi Pembantah dalam satu perkara yang sama.
2)      Dalam berita acara sidang pemeriksaan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Barat diperiksa 2 (dua) orang saksi secara bersama-sama dan sekaligus.
Hal ini bertentangan dengan pasal 144 (1) RID (salah menerapkan hukum) sehingga kedua keterangan saksi tersebut tidak dapat dipergunakan.
Ratio dari pasal 144 (1) RID ialah agar kedua saksi tidak dapat menyesuaikan diri dengan keterangannya masing-masing, sehingga diperoleh keterangan saksi yang objektif dan bukan keterangan saksi yang sudah bersepakat mengatakan hal-hal yang sama mengenai sesuatu hal.
3)      Ketentuan-ketentuan dalam pasal 1813 KUHPerdata tidak bersifat limitataif juga tidak mengikat, yaitu kalau sifat dari perjanjian memang menghendaki, maka tidak dapat dicabut kembali. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya pasal-pasal dari Hukum Perjanjian bersifat hukum yang mengatur.
Mengenai pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut dan juga tidak batal karena meninggalnya pemberi kuasa, di Indonesia telah merupakan suatu bestendig en gubruikelijk beding sehingga tidak bertentangan dengan UU, yaitu pasal 1339 dan pasal 1347 dan seterusnya KUHPerdata.

50.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 861 K/SIP/1975
Tanggal : 9 Agustus 1979
Kaidah Hukum :
Perbuatan hukum yang dilakukan janda atas harta peninggalan suaminya tanpa persetujuan ahli waris kepurusa, dapat dibenarkan karena perbuatan tersebut adalah untuk kepentingan yang patut dan tidak merugikan budel warisan.

51.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1149 K/SIP/1975
Tanggal : 17 April 1979
Kaidah Hukum :
Karena dalam surat gugatan tidak disebut dengan jelas letak dan batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima.

52.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1375 K/SIP/1975
Tanggal : 27 Nopember 1976
Kaidah Hukum :
Oleh karena tuntutan ganti rugi yang didalilkan oleh Penggugat dan disebutkan dalam petitum gugatan, tetapi tidak diperiksa dan diputus oleh judex facti, maka Pengadilan Negeri diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan tambahan mengenai hal tersebut.

53.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 126 K/SIP/1976
Tanggal : 4 April 1978
Kaidah Hukum :
Untuk sahnya jual-beli tanah, tidak mutlak harus ada akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Akta Pejabat itu hanyalah suatu alat bukti.

Catatan Penulis :
Bandingkan dengan :
-          Yurisprudensi Nomor 1363 K/SIP/1971 tertanggal 27 Mei 1972
-          Yurisprudensi Nomor 952 K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975
-          Yurisprudensi Nomor 544 K/SIP/1976 tertanggal 26 Juni 1979
-          Yurisprudensi Nomor 665 K/SIP/1979 tertanggal 22 Juli 1980
-          Yurisprudensi Nomor 992 K/SIP/1976 tertanggal 14 April 1980

54.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 177 K/SIP/1976
Tanggal : 26 Oktober 1976
Kaidah Hukum :
Di dalam putusan, orang-orang yang tidak merupakan pihak dalam perkara tidak dapat dinyatakan sebagai ahli waris.

55.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 263 K/SIP/1976
Tanggal : 13 Nopember 1978
Kaidah Hukum :
Karena tanah sengketa merupakan harta bersama suami-isteri Tergugat I dan Tergugat II, untuk menjual tanah tersebut Tergugat I harus mendapatkan persetujuan isterinya.

56.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 307 K/SIP/1976
Tanggal : 7 Desember 1976
Kaidah Hukum :
Tuntutan akan uang paksa harus ditolak dalam hal putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil apabila keputusan yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Catatan Penulis :
Selainnya eksekusi yang diatur dalam Pasal 196 HIR tentang penghukuman pembayaran sejumlah uang dan eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR tentang penghukuman pelaksanaan suatu perbuatan, maka ada pula eksekusi riil yang tidak diatur HIR, namun dalam Pasal 1033 RV :
Bila putusan untuk pengosongan barang tidak bergerak harus dan debitur, setelah diberi peringatan seperti yang dimaksud dalam pasal 999, tidak memenuhi putusan tersebut dalam jangka waktu yang telah ditetapkan itu, maka residentierechter mengeluarkan perintah tertulis kepada pegawai yang berwenang untuk menjalankan eksplot, dibantu dengan cara seperti yang disebutkan dalam pasal 1000, jika perlu dengan menggunakan tangan besi dari yang berwenang untuk itu, untuk memindahkan debitur tempat itu dan mengosongkan rumah atau barang tidak bergerak lainnya.
Lain halnya daripada eksekusi sebagaimana Pasal 225 HIR yang dapat dikenakan dwangsom, maka eksekusi riil ini tidak dapat dikenakan dwangsom. Hal ini wajar mengingat eksekusi riil bisa dilakukan “pemaksaan secara nyata” terhadap dilaksanakannya suatu perbuatan (pengosongan), sedang dalam eksekusi Pasal 225 HIR, seseorang tidak bisa “dipaksa” untuk melakukan sesuatu, sehingga menggunakan dwangsom untuk memaksanya dan nantinya nilai dwangsom itu yang bisa dieksekusi dan dilelang.

57.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 544 K/SIP/1976
Tanggal : 26 Juni 1979
Kaidah Hukum :
Berdasarkan pasal 19 PP 10/1961, setiap pemindahan hak atas tanah harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, setidak-tidaknya di hadapan Kepala Desa yang bersangkutan (dalam kasus ini tukar-menukar rumah/tanah hanya dilakukan secara di bawah tangan di Surabaya, walaupun kemudian disahkan oleh Kepala Kecamatan Tanimbar Utara).

Catatan Penulis :
Bandingkan dengan :
-          Yurisprudensi Nomor 1363 K/SIP/1971 tertanggal 27 Mei 1972
-          Yurisprudensi Nomor 952 K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975
-          Yurisprudensi Nomor 126 K/SIP/1976 tertanggal 4 April 1978
-          Yurisprudensi Nomor 665 K/SIP/1979 tertanggal 22 Juli 1980
-          Yurisprudensi Nomor 992 K/SIP/1976 tertanggal 14 April 1980

Bahwa yang perlu diperhatikan dalam perkara ini, asas dalam hukum adat tidak terpenuhi, yakni asas konkret (terang dan nyata secara visual) artinya diketahui oleh umum in casu Kepala Desa ybs. Adapun bunyi dari Pasal 19 PP 10/1961 :
“Setiap pejanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, ‘harus dibuktikan’ dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria.”
Ada perbedaan antara “harus dibuktikan” dengan “harus dilakukan”.

58.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1002 K/SIP/1976
Tanggal : 13 April 1978
Kaidah Hukum :
Harta gana-gini yang telah dibagi antara Pak Kertodirjo dan Bok Kertodirjo, setelah mereka kawin kembali tetap merupakan harta gana-gini dan bukan harta bawaan yang biasanya kembali kepada keluarga masing-masing pihak. Oleh karena itu setelah Pak Kertodirjo meninggal, Bok Kertodirjo sebagai janda dan Sugeng sebagai anak angkat berhak mewarisi harta gana-gini tersebut.

59.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 147 K/SIP/1979
Tanggal : 25 September 1980
Kaidah Hukum :
Jual-beli tanah/rumah tidak sah, karena ternyata dari kesaksian kuasa penjual sendiri, Para Tergugat-asal bukan pembeli sebenarnya, melainkan hanya namanya yang dipinjamkan, sedangkan pembeli sebenarnya adalah Penggugat-asal yang pada waktu itu masih warga Negara asing. Dengan demikian perjanjian jual-beli tersebut mengandung suatu sebab yang dilarang oleh undang-undang (ongeoorloofde oorzaak), yaitu ingin menyelundupi ketentuan larangan tersebut dalam pasal 5 jo. 21 UUPA.

Catatan Penulis :
Lihat pula jual-beli proforma (pura-pura) sebagaimana dalam Yurisprudensi Nomor  3201 K/PDT/1991 tertanggal 30 Januari 1996, berikut tanggapan Penulis akan jual-beli proforma ini.

60.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 665 K/SIP/1979
Tanggal : 22 Juli 1980
Kaidah Hukum :
Dengan telah terjadinya jual-beli antara penjual dan pembeli yang diketahui oleh Kepala Kampung yang bersangkutan dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi serta diterimanya harga pembelian oleh penjual, maka jual-beli itu sudah sah menurut hukum, sekalipun belum dilaksanakan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Catatan Penulis :
Bandingkan dengan :
-          Yurisprudensi Nomor 1363 K/SIP/1971 tertanggal 27 Mei 1972
-          Yurisprudensi Nomor 952 K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975
-          Yurisprudensi Nomor 126 K/SIP/1976 tertanggal 4 April 1978
-          Yurisprudensi Nomor 544 K/SIP/1976 tertanggal 26 Juni 1979
-          Yurisprudensi Nomor 992 K/SIP/1976 tertanggal 14 April 1980

61.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 992 K/SIP/1979
Tanggal : 14 April 1980
Kaidah Hukum :
Semenjak akta jual-beli ditandatangani di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah, hak milik atas tanah yang dijual beralih kepada pembeli.

Catatan Penulis :
Bandingkan dengan :
-          Yurisprudensi Nomor 1363 K/SIP/1971 tertanggal 27 Mei 1972
-          Yurisprudensi Nomor 952 K/SIP/1974 tertanggal 27 Mei 1975
-          Yurisprudensi Nomor 126 K/SIP/1976 tertanggal 4 April 1978
-          Yurisprudensi Nomor 544 K/SIP/1976 tertanggal 26 Juni 1979
-          Yurisprudensi Nomor 665 K/SIP/1979 tertanggal 22 Juli 1980

62.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1281 K/SIP/1979
Tanggal : 15 April 1981
Kaidah Hukum :
Bantahan terhadap eksekusi yang diajukan setelah eksekusi itu dilaksanakan tidak dapat diterima.

Catatan Penulis :
Bahwa yang dimaksud “eksekusi dilaksanakan” bukan pada sita eksekusi, namun eksekusi yang sebenarnya, dimana kalau sudah beralih kepada pembeli lelang kalau dijual lelang ataupun sudah diserahkan kepada pihak yang menang. Hal ini disebutkan dalam buku Ny. RETNOWULAN SUTANTIO dan ISKANDAR OERIPKARTAWINATA berjudul Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, tahun 1997, Cetakan ke-VIII, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, hlm. 176. Acuan yurisprudensi yang serupa menurut buku tersebut putusan MA tanggal 24 Januari 1980 No. 393 K/SIP/1975 termuat dalam Yurisprudensi Indonesia 1979-1, halaman 224.

63.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 1282 K/SIP/1979
Tanggal : 20 Desember 1979
Kaidah Hukum :
Dalam gugatan perceraian, ibu kandung dan pembantu rumah tangga salah satu pihak dapat didengar sebagai saksi.

Catatan Penulis :
Pasal 145 ayat (2) HIR sebenarnya sejalan dengan kaidah ini karena “keadaan status perkawinan” adalah “keadaan menurut hukum sipil”. Selain itu dalam perkara perburuhan keluarga sedarah dan semenda juga tidak bisa ditolak sebagai saksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar