BUKU 3
PERDATA NIAGA & PERDATA AGAMA
1.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 677
K/SIP/1972
Tanggal
: 20 Desember 1972
Kaidah
Hukum :
Suatu perkara yang tunduk pada suatu
hukum acara yang bersifat khusus tidak dapat digabungkan dengan perkara lain
yang tunduk pada hukum acara yang bersifat umum, sekalipun kedua perkara itu
berhubungan erat satu sama lain.
Pendaftaran suatu merek hanyalah
memberikan hak kepada orang atau badan hukum yang mereknya didaftarkan itu,
bahwa ia dianggap sebagai pemakai pertama merek itu, sampai dibuktikan
sebaliknya oleh pihak lain.
Yang dimaksud oleh UU dengan
perkataan “pemakai pertama di Indonesia” harus ditafsirkan sebagai “pemakai
pertama di Indonesia yang jujur” (beritikad baik) sesuai dengan asas hukum,
bahwa perlindungan diberikan kepada orang yang beritikad baik dan tidak kepada
yang beritikad buruk.
Tujuan UU merek (UU 21/1961) adalah
untuk melindungi khalayak ramai terhadap barang tiruan, yang memakai merek yang
sudah dikenalnya sebagai merek barang yang bermutu baik, yaitu dengan cara
menertibkan kepatutan di dalam lalu-lintas perdagangan (handelsmoraal).
Catatan
Penulis :
Perkara ini adalah perkara PT.
TANCHO INDONESIA Co. Ltd.
2.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 013 K/N/1999
Tanggal
: 16 Nopember 2000
Kaidah
Hukum :
Dalam hal penentuan seluruh utang
debitor (piutang kreditor), jumlahnya dapat ditentukan dengan pasti dalam
proses pencocokan piutang-piutang pada rapat verifikasi; bila dalam rapat
verifikasi ada perbedaan/perbantahan yang tidak dapat didamaikan oleh Hakim
Pengawas, maka akan ditempuh prosedur Renvoi
ke Majelis Hakim Pengadilan Niaga.
3.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 024 PK/N/1999
Tanggal
: 4 Nopember 1999
Kaidah
Hukum :
Dalam perkara kepailitan, perlu
memperhatikan kepentingan perusahaan debitor dan kepentingan Kreditor secara
seimbang. Jika usaha Debitor masih mempunyai potensi dan prospek, seharusnya
usaha itu masih diberi kesempatan untuk tetap hidup dan berkembang, dan
penjatuhan pailit merupakan ultimum
remedium.
Catatan
Penulis :
Ini lebih ke insolvensi, namun
bandingkan dengan yurisprudensi nomor 018 PK/N/2000 di bawah.
4.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 018 PK/N/2000
Tanggal
: 1 Nopember 2000
Kaidah
Hukum :
Bukti baru yang diajukan oleh
Debitor/Pemohon PK dengan maksud membuktikan bahwa Debitor masih mempunyai
cukup kekayaan dan tidak boleh dinyatakan pailit, harus dikesampingkan dan
tidak relevan dengan putusan pailit a quo
dengan pertimbangan bahwa UU 4/1998/UU kepailitan bertujuan untuk membantu
menyelesaikan utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Dari
ketentuan Pasal 1 undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa dapat tidaknya
seorang debitor dinyatakan pailit tidak tergantung apakah debitor itu mempunyai
kekayaan yang cukup untuk membayar utang-utangnya (mampu membayar), melainkan
apakah ia mau membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan ia mempunyai lebih
dari seorang kreditor.
Catatan
Penulis :
Kebalikan dari insolvensi, hal ini
tidak melihat debitor insolven atau tidak. Bandingkan dengan yurisprudensi
nomor 024 PK/N/1999 di atas.
5.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 030 PK/N/2001
Tanggal
: 9 Januari 2002
Kaidah
Hukum :
Dengan diasuransikannya utang
Debitor yang telah dijamin oleh Termohon-pailit/Termohon-kasasi melalui
asuransi kredit ekspor, maka sesuai dengan ketentuan Perjanjian Kredit yang
bersangkutan, perlu dibuktikan apakah perjanjian asuransi tersebut telah
terpenuhi dan sampai sejauh mana tanggungjawabnya. Proses itu membuat
pembuktian dalam permohonan pailit a quo
menjadi kompleks dan rumit.
Kesimpulan Judex Facti maupun Majelis Kasasi, bahwa proses pembuktian perkara
ini tidak dapat dilakukan secara sederhana (vide
Pasal 6 ayat [3] UU Kepailitan), tidak merupakan kesalahan berat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 286 ayat (2)b UU Kepailitan. Dengan demikian, permohonan
PK harus ditolak.
6.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 011 PK/N/2004
Tanggal
: 18 Mei 2005
Kaidah
Hukum :
Walaupun Pemohon-pailit adalah
Penerima Fiducia, sebagai kreditor ia dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit ke Pengadilan Negeri tanpa harus melaksanakan haknya atas jaminan
Fiducia tersebut. Dengan pertimbangan bahwa bukti yang diajukan oleh
Pemohon-pailit – bahwa Termohon-pailit mempunyai utang pada lebih 2 (dua)
kreditor dan bahwa Termohon-pailit mempunyai utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih – TIDAK DIBANTAH oleh Termohon-pailit, maka Majelis Hakim Agung
menerima permohonan PK, membatalkan putusan Kasasi, dan mengabulkan permohonan
pernyataan pailit.
7.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 118 K/PDT.SUS/2007
Tanggal
: 2 Januari 2008
Kaidah
Hukum :
1)
Oleh
karena kedudukan Pemohon masih dipermasalahkan oleh Termohon, apakah ia
termasuk kreditor dari Termohon atau tidak, maka hal itu harus dibuktikannya
terlebih dahulu dan ia tidak dapat bertindak sebagai Kreditor yang menuntut
pembatalan perdamaian yang telah disahkan.
2)
Dengan
telah berakhirnya kepailitan Termohon, maka penentuan Pemohon sebagai Kreditor
dari Termohon harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri dalam suatu
gugatan perdata.
8.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 37 K/AG/1980
Tanggal
: 3 Juni 1981
Kaidah
Hukum :
Rukun kembali merupakan sesuatu yang
tidak dapat dituntut dalam hukum.
9.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/AG/1992
Tanggal
: 29 September 1992
Kaidah
Hukum :
Pengadilan Tinggi telah salah
menerapkan hukum dengan mempertimbangkan bahwa percekcokan terjadi antara
Pemohon-kasasi/Penggugat-asal dan orangtuanya mengenai mobil, sedang hal ini
tidak ada kaitannya dengan sengketa yang nyata-nyata diajukan.
Catatan
Penulis :
Perkara ini diputus tetap cerai.
Adanya cekcok dengan orangtua tidak relevan karena yang disengketakan adalah
Penggugat dan Tergugat, dengan demikian Pengadilan Tinggi Agama tidak dapat
mengatakan karena cekcok dengan orangtua maka Penggugat dan Tergugat bukan yang
cekcok.
10.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 266 K/AG/1993
Tanggal
: 25 Juni 1994
Kaidah
Hukum :
Isi pasal 19 f PP 9/1975 telah
terpenuhi dan alasan perceraian telah terbukti, apabila judex facti telah yakin bahwa perkawinan yang bersangkutan pecah;
dengan demikian, apabila judex facti
berpendapat bahwa alasan perceraian menurut pasal 19 f PP 9/1975 telah
terbukti, maka hal ini semata-mata ditujukan pada perkawinan itu sendiri, tanpa
mempersoalkan siapa yang salah.
Catatan
Penulis :
Bandingkan dengan Yurisprudensi
Mahkamah Agung Nomor 2249 K/PDT/1992 di atas dan SEMA 3/1981.
11.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 350 K/AG/1994
Tanggal
: 28 Mei 1997
Kaidah
Hukum :
Dalam pembagian waris menurut hukum
Islam, harta warisan harus dibagi di antara para ahli warisnya dengan
perbandingan dua bagian bagi anak laki-laki dan satu bagian bagi anak
perempuan.
12.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 138 K/AG/1995
Tanggal
: 26 Juli 1996
Kaidah
Hukum :
1)
Perceraian
dapat dikabulkan jika telah memenuhi ketentuan pasal 39 ayat (2) huruf (f) UU
1/1974, pasal 19 (f) PP 9/1975, dan pasal 116 (f) Kompilasi Hukum Islam.
2)
Istri
berhak atas nafkah suami.
Catatan
Penulis :
Isteri berhak atas nafkah suami.
Seandainya yang berpenghasilan adalah isteri dan bukan suami?
13.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 184 K/AG/1995
Tanggal
: 30 September 1996
Kaidah
Hukum :
Dengan adanya anak perempuan dari
pewaris, maka saudara-saudara kandung pewaris terhijab oleh anak perempuan
tersebut (Tergugat-asal I), oleh karenanya para Penggugat-asal tidak berhak
atas harta warisan.
14.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 237 K/AG/1995
Tanggal
: 30 Agustus 1996
Kaidah
Hukum :
Perceraian tidak dapat dikabulkan
apabila tidak memenuhi alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam pasal 19 (f)
PP 9/1975.
15.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 184 K/AG/1996
Tanggal
: 27 Mei 1998
Kaidah
Hukum :
Permohonan kasasi dapat dikabulkan
karena gugatan Penggugat kurang pihak atau tidak semua ahli waris dijadikan
pihak dalam gugatan Penggugat.
16.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 249K/AG/1996
Tanggal
: 8 Januari 1998
Kaidah
Hukum :
1)
Bilamana
perkara yang pihak Tergugatnya gila, sebagian berpendapat, bahwa pemeriksaan
tetap dilanjutkan dengan diwakili oleh orangtua/wali/pengampu pihak yang gila,
sedangkan lainnya berpendapat bahwa harus ada penetapan kurator.
2)
Menurut
pendapat Mahkamah Agung, pemeriksaan terhadap perkara yang pihak Tergugatnya
gila tidak perlu menunggu adanya penetapan kurator dari Pengadilan Negeri.
17.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 441 K/AG/1996
Tanggal
: 22 September 1998
Kaidah
Hukum :
Faktor penyebab perceraian datang
dari pihak suami, maka wajiblah ia memberi nafkah (mutah) kepada isterinya
selama si istri belum menikah lagi.
18.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 02 K/AG/2001
Tanggal
: 29 September 2002
Kaidah
Hukum :
Suatu perkawinan yang dilakukan oleh
seseorang yang telah mempunyai istri seyogyanya harus disertai izin dari
Pengadilan Agama sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 3, 9, 24, dan 25 UU
1/1974.
Catatan
Penulis :
Bahwa dari yurisprudensi ini penulis
beranggapan ada permasalahan inkonsistensi yang dimiliki Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu di satu sisi memandang sahnya perkawinan
diserahkan hukum agama, namun sebaliknya ingin mengatakan kalau sahnya
perkawinan diatur negara (salah satunya poligami).
Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 tentang
Perkawinan menyebut :
“Perkawinan
adalah ‘sah’, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.”
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyebut :
“Perkawinan
adalah ‘sah’, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat
(1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”
Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 menyebut :
“Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Bahwa dari hal-hal di atas, tidak
ada menyebut “sah” karena pencatatan, tapi “sah” karena dilangsungkan menurut
hukum agama dan kepercayaan, sehingga “sah”-nya bukan karena dicatatkan dan
bahkan tidak ada “wajib/harus” dicatatkan dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974.
Tidak dicatatkannya merupakan suatu pelanggaran administratif, namun tidak
membuat sah atau tidaknya perkawinan. Selain itu kendala dari perkawinan yang
tidak dicatatkan adalah masalah pembuktian, sebagaimana disebut dalam Pasal 7
ayat (1) KHI :
“Perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah.”
Permasalahan pembuktian tersebut
dapat dipecahkan melalui itsbat nikah ke Pengadilan Agama (vide Pasal 7 ayat [2] KHI). Itsbat nikah ini makin membuktikan
suatu perkawinan sahnya bukan karena pencatatan.
Kemudian di sisi lain, sahnya
perkawinan kali ini justru diserahkan kepada negara dimana dalam hal poligami
ada kewajiban untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan, sebagaimana Pasal 4
ayat (1) UU 1/1974 yang berbunyi :
“Dalam
hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia ‘wajib’ mengajukan permohonan
kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.”
Pertanyaannya adalah bagaimana
keabsahan terhadap perkawinan yang kedua yang dilangsungkan sah menurut hukum
agama tapi tidak ada izin dari pengadilan? Bukankah sah jika mengacu pada Pasal
2 ayat (1) UU 1/1974? Sepengetahuan Penulis mencari berbagai sumber (dapat
dikoreksi apabila salah), dalam hukum Islam, seorang pria bisa melaksanakan
perkawinan lagi (maksimal 4 isteri) dengan tanpa adanya izin dari isteri
terdahulu apalagi pihak ketiga (pengadilan).
Menurut penulis seharusnya
seharusnya UU 1/1974 diperbaiki redaksinya agar tidak menjadi problematika,
yaitu dengan menggabungkan kedua ayat dalam Pasal 2, dimana menjadi berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, serta wajib dicatatkan
menurut peraturan perundangan yang berlaku.”
Lebih lanjut mengenai “nikah siri”
ini lihat di Yurisprudensi MA Nomor 435 K/KR/1979 tertanggal 17 April 1980.
19.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 11 K/AG/2001
Tanggal
: 10 Juli 2003
Kaidah
Hukum :
Pemberian ½ bagian dari gaji
Tergugat kepada Penggugat, sebagaimana diatur dalam pasal 8 PP 10/1983,
sebagaimana telah diubah dengan PP 45/1990, mengenai Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil, bukan merupakan hukum acara Peradilan agama, karena pemberian ½
gaji Tergugat kepada Penggugat merupakan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara.
20.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 348 K/AG/2002
Tanggal
: 17 Maret 2004
Kaidah
Hukum :
Gabungan beberapa tuntutan Penggugat
dapat dibenarkan sepanjang gabungan tuntutan perceraian dengan segala akibat
hukumnya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 86 UU 7/1989, sedangkan tuntutan
lainnya yang tidak diatur dalam pasal tersebut cukup dinyatakan tidak dapat
diterima; tidak seharusnya seluruh gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat
diterima dengan alasan obscuur libel.
Catatan
Penulis :
Bahwa gugatan atas harta perkawinan dapat
digabung dengan gugatan cerai (kumulasi obyektif) di Pengadilan Agama atas
dasar alasan Pasal 86 UU 7/1989. Sebaliknya PN masih menganggap hal tersebut
tidak bisa dilakukan kumulasi obyektif (penggabungan perkara dengan 2 atau
lebih obyek tuntutan). Lihat lebih lanjut dalam Yurisprudensi MA Nomor 913
K/SIP/1982 tertanggal 31 Mei 1983 yang melarang penggabungan tuntutan cerai dan
pembagian harta.
Bahwa Penulis setuju tuntutan cerai
dan pembagian harta dapat digabung, dengan alasan asas peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun kendalanya, yaitu selama belum
adanya aturan semacam UU 7/1989 yang menegaskan dibolehkannya penggabungan
tuntutan cerai dan pembagian harta, maka Yurisprudensi MA Nomor 913 K/SIP/1982
tertanggal 31 Mei 1983 tetap menjadi acuan sumber hukum.
21.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 332 K/AG/2003
Tanggal
: 23 Desember 2004
Kaidah
Hukum :
1)
Dalam
membagi harta warisan harus disebutkan secara jelas orang-orang yang berhak
menjadi ahli waris dan bagian masing-masingnya.
2)
Apabila
dilakukan hibah kepada pihak lain terhadap harta warisan yang belum dibagikan
kepada ahli waris, maka hibah tersebut batal demi hukum, karena salah satu
syarat hibah adalah barang yang dihibahkan harus milik pemberi hibah sendiri,
dan bukan pula harta yang masih terikat dengan sengketa.
3)
Hibah
yang dilakukan oleh orang-orang non-muslim tidak dilakukan berdasarkan hukum
Islam, oleh karenanya penilaian mengenai sah tidaknya hibah tersebut bukan
merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
22.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 280 K/AG/2004
Tanggal
: 10 Nopember 2004
Kaidah
Hukum :
Apabila telah terjadi perceraian,
maka akibat perceraian harus ditetapkan sesuai dengan kebutuhan hidup minimum
berdasarkan kepatutan dan keadilan, dan untuk menjamin kepastian dan masa depan
anak perlu ditetapkan kewajiban suami untuk membiayai nafkah anak-anaknya.
23.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 41 PK/AG/2007
Tanggal
: 23 Mei 2008
Kaidah
Hukum :
Pengadilan Agama tidak pernah
memiliki/diberi wewenang untuk mengeluarkan fatwa atas segala sesuatu, termasuk
dalam perkara a quo. Pengadilan Agama hanya mempunyai 2 (dua) jenis produk,
yaitu beschikkings (penetapan) dan
vonis (putusan), sehingga produk penetapan pengadilan tetap bertitel
“mengadili” bukan “memberikan fatwa”, dengan demikian penetapan fatwa ahli
waris yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Cianjur bersifat tidak mengikat.
24.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 110 K/AG/2007
Tanggal
: 7 Desember 2007
Kaidah
Hukum :
Pertimbangan utama dalam masalah
hadhanah (pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, bukan
semata-mata yang secara normatif paling berhak. Sekalipun si anak belum berumur
7 (tujuh) tahun, tetapi karena si ibu sering berpergian ke luar negeri sehingga
tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan selama ini telah terbukti si
anak telah hidup tenang dan tentram bersama ayahnya, maka demi kemaslahatan si
anak hak hadanah-nya diserahkan kepada ayahnya.