Sabtu, 17 September 2016

Yurispudensi beserta komentar (Buku 3)



BUKU 3
PERDATA NIAGA & PERDATA AGAMA

1.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 677 K/SIP/1972
Tanggal : 20 Desember 1972
Kaidah Hukum :
Suatu perkara yang tunduk pada suatu hukum acara yang bersifat khusus tidak dapat digabungkan dengan perkara lain yang tunduk pada hukum acara yang bersifat umum, sekalipun kedua perkara itu berhubungan erat satu sama lain.
Pendaftaran suatu merek hanyalah memberikan hak kepada orang atau badan hukum yang mereknya didaftarkan itu, bahwa ia dianggap sebagai pemakai pertama merek itu, sampai dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.
Yang dimaksud oleh UU dengan perkataan “pemakai pertama di Indonesia” harus ditafsirkan sebagai “pemakai pertama di Indonesia yang jujur” (beritikad baik) sesuai dengan asas hukum, bahwa perlindungan diberikan kepada orang yang beritikad baik dan tidak kepada yang beritikad buruk.
Tujuan UU merek (UU 21/1961) adalah untuk melindungi khalayak ramai terhadap barang tiruan, yang memakai merek yang sudah dikenalnya sebagai merek barang yang bermutu baik, yaitu dengan cara menertibkan kepatutan di dalam lalu-lintas perdagangan (handelsmoraal).

Catatan Penulis :
Perkara ini adalah perkara PT. TANCHO INDONESIA Co. Ltd.

2.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 013 K/N/1999
Tanggal : 16 Nopember 2000
Kaidah Hukum :
Dalam hal penentuan seluruh utang debitor (piutang kreditor), jumlahnya dapat ditentukan dengan pasti dalam proses pencocokan piutang-piutang pada rapat verifikasi; bila dalam rapat verifikasi ada perbedaan/perbantahan yang tidak dapat didamaikan oleh Hakim Pengawas, maka akan ditempuh prosedur Renvoi ke Majelis Hakim Pengadilan Niaga.

3.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 024 PK/N/1999
Tanggal : 4 Nopember 1999
Kaidah Hukum :
Dalam perkara kepailitan, perlu memperhatikan kepentingan perusahaan debitor dan kepentingan Kreditor secara seimbang. Jika usaha Debitor masih mempunyai potensi dan prospek, seharusnya usaha itu masih diberi kesempatan untuk tetap hidup dan berkembang, dan penjatuhan pailit merupakan ultimum remedium.

Catatan Penulis :
Ini lebih ke insolvensi, namun bandingkan dengan yurisprudensi nomor 018 PK/N/2000 di bawah.

4.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 018 PK/N/2000
Tanggal : 1 Nopember 2000
Kaidah Hukum :
Bukti baru yang diajukan oleh Debitor/Pemohon PK dengan maksud membuktikan bahwa Debitor masih mempunyai cukup kekayaan dan tidak boleh dinyatakan pailit, harus dikesampingkan dan tidak relevan dengan putusan pailit a quo dengan pertimbangan bahwa UU 4/1998/UU kepailitan bertujuan untuk membantu menyelesaikan utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Dari ketentuan Pasal 1 undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa dapat tidaknya seorang debitor dinyatakan pailit tidak tergantung apakah debitor itu mempunyai kekayaan yang cukup untuk membayar utang-utangnya (mampu membayar), melainkan apakah ia mau membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan ia mempunyai lebih dari seorang kreditor.

Catatan Penulis :
Kebalikan dari insolvensi, hal ini tidak melihat debitor insolven atau tidak. Bandingkan dengan yurisprudensi nomor 024 PK/N/1999 di atas.

5.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 030 PK/N/2001
Tanggal : 9 Januari 2002
Kaidah Hukum :
Dengan diasuransikannya utang Debitor yang telah dijamin oleh Termohon-pailit/Termohon-kasasi melalui asuransi kredit ekspor, maka sesuai dengan ketentuan Perjanjian Kredit yang bersangkutan, perlu dibuktikan apakah perjanjian asuransi tersebut telah terpenuhi dan sampai sejauh mana tanggungjawabnya. Proses itu membuat pembuktian dalam permohonan pailit a quo menjadi kompleks dan rumit.
Kesimpulan Judex Facti maupun Majelis Kasasi, bahwa proses pembuktian perkara ini tidak dapat dilakukan secara sederhana (vide Pasal 6 ayat [3] UU Kepailitan), tidak merupakan kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (2)b UU Kepailitan. Dengan demikian, permohonan PK harus ditolak.

6.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 011 PK/N/2004
Tanggal : 18 Mei 2005
Kaidah Hukum :
Walaupun Pemohon-pailit adalah Penerima Fiducia, sebagai kreditor ia dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Negeri tanpa harus melaksanakan haknya atas jaminan Fiducia tersebut. Dengan pertimbangan bahwa bukti yang diajukan oleh Pemohon-pailit – bahwa Termohon-pailit mempunyai utang pada lebih 2 (dua) kreditor dan bahwa Termohon-pailit mempunyai utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih – TIDAK DIBANTAH oleh Termohon-pailit, maka Majelis Hakim Agung menerima permohonan PK, membatalkan putusan Kasasi, dan mengabulkan permohonan pernyataan pailit.

7.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 118 K/PDT.SUS/2007
Tanggal : 2 Januari 2008
Kaidah Hukum :
1)      Oleh karena kedudukan Pemohon masih dipermasalahkan oleh Termohon, apakah ia termasuk kreditor dari Termohon atau tidak, maka hal itu harus dibuktikannya terlebih dahulu dan ia tidak dapat bertindak sebagai Kreditor yang menuntut pembatalan perdamaian yang telah disahkan.
2)      Dengan telah berakhirnya kepailitan Termohon, maka penentuan Pemohon sebagai Kreditor dari Termohon harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri dalam suatu gugatan perdata.

8.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 37 K/AG/1980
Tanggal : 3 Juni 1981
Kaidah Hukum :
Rukun kembali merupakan sesuatu yang tidak dapat dituntut dalam hukum.

9.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/AG/1992
Tanggal : 29 September 1992
Kaidah Hukum :
Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum dengan mempertimbangkan bahwa percekcokan terjadi antara Pemohon-kasasi/Penggugat-asal dan orangtuanya mengenai mobil, sedang hal ini tidak ada kaitannya dengan sengketa yang nyata-nyata diajukan.

Catatan Penulis :
Perkara ini diputus tetap cerai. Adanya cekcok dengan orangtua tidak relevan karena yang disengketakan adalah Penggugat dan Tergugat, dengan demikian Pengadilan Tinggi Agama tidak dapat mengatakan karena cekcok dengan orangtua maka Penggugat dan Tergugat bukan yang cekcok.

10.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 266 K/AG/1993
Tanggal : 25 Juni 1994
Kaidah Hukum :
Isi pasal 19 f PP 9/1975 telah terpenuhi dan alasan perceraian telah terbukti, apabila judex facti telah yakin bahwa perkawinan yang bersangkutan pecah; dengan demikian, apabila judex facti berpendapat bahwa alasan perceraian menurut pasal 19 f PP 9/1975 telah terbukti, maka hal ini semata-mata ditujukan pada perkawinan itu sendiri, tanpa mempersoalkan siapa yang salah.

Catatan Penulis :
Bandingkan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2249 K/PDT/1992 di atas dan SEMA 3/1981.

11.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 350 K/AG/1994
Tanggal : 28 Mei 1997
Kaidah Hukum :
Dalam pembagian waris menurut hukum Islam, harta warisan harus dibagi di antara para ahli warisnya dengan perbandingan dua bagian bagi anak laki-laki dan satu bagian bagi anak perempuan.

12.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 138 K/AG/1995
Tanggal : 26 Juli 1996
Kaidah Hukum :
1)      Perceraian dapat dikabulkan jika telah memenuhi ketentuan pasal 39 ayat (2) huruf (f) UU 1/1974, pasal 19 (f) PP 9/1975, dan pasal 116 (f) Kompilasi Hukum Islam.
2)      Istri berhak atas nafkah suami.

Catatan Penulis :
Isteri berhak atas nafkah suami. Seandainya yang berpenghasilan adalah isteri dan bukan suami?

13.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 184 K/AG/1995
Tanggal : 30 September 1996
Kaidah Hukum :
Dengan adanya anak perempuan dari pewaris, maka saudara-saudara kandung pewaris terhijab oleh anak perempuan tersebut (Tergugat-asal I), oleh karenanya para Penggugat-asal tidak berhak atas harta warisan.

14.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 237 K/AG/1995
Tanggal : 30 Agustus 1996
Kaidah Hukum :
Perceraian tidak dapat dikabulkan apabila tidak memenuhi alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam pasal 19 (f) PP 9/1975.

15.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 184 K/AG/1996
Tanggal : 27 Mei 1998
Kaidah Hukum :
Permohonan kasasi dapat dikabulkan karena gugatan Penggugat kurang pihak atau tidak semua ahli waris dijadikan pihak dalam gugatan Penggugat.

16.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 249K/AG/1996
Tanggal : 8 Januari 1998
Kaidah Hukum :
1)      Bilamana perkara yang pihak Tergugatnya gila, sebagian berpendapat, bahwa pemeriksaan tetap dilanjutkan dengan diwakili oleh orangtua/wali/pengampu pihak yang gila, sedangkan lainnya berpendapat bahwa harus ada penetapan kurator.
2)      Menurut pendapat Mahkamah Agung, pemeriksaan terhadap perkara yang pihak Tergugatnya gila tidak perlu menunggu adanya penetapan kurator dari Pengadilan Negeri.

17.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 441 K/AG/1996
Tanggal : 22 September 1998
Kaidah Hukum :
Faktor penyebab perceraian datang dari pihak suami, maka wajiblah ia memberi nafkah (mutah) kepada isterinya selama si istri belum menikah lagi.

18.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 02 K/AG/2001
Tanggal : 29 September 2002
Kaidah Hukum :
Suatu perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang telah mempunyai istri seyogyanya harus disertai izin dari Pengadilan Agama sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 3, 9, 24, dan 25 UU 1/1974.

Catatan Penulis :
Bahwa dari yurisprudensi ini penulis beranggapan ada permasalahan inkonsistensi yang dimiliki Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu di satu sisi memandang sahnya perkawinan diserahkan hukum agama, namun sebaliknya ingin mengatakan kalau sahnya perkawinan diatur negara (salah satunya poligami).

Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 tentang Perkawinan menyebut :
“Perkawinan adalah ‘sah’, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebut :
“Perkawinan adalah ‘sah’, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”
Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 menyebut :
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Bahwa dari hal-hal di atas, tidak ada menyebut “sah” karena pencatatan, tapi “sah” karena dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan, sehingga “sah”-nya bukan karena dicatatkan dan bahkan tidak ada “wajib/harus” dicatatkan dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974. Tidak dicatatkannya merupakan suatu pelanggaran administratif, namun tidak membuat sah atau tidaknya perkawinan. Selain itu kendala dari perkawinan yang tidak dicatatkan adalah masalah pembuktian, sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (1) KHI :
“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.”
Permasalahan pembuktian tersebut dapat dipecahkan melalui itsbat nikah ke Pengadilan Agama (vide Pasal 7 ayat [2] KHI). Itsbat nikah ini makin membuktikan suatu perkawinan sahnya bukan karena pencatatan.

Kemudian di sisi lain, sahnya perkawinan kali ini justru diserahkan kepada negara dimana dalam hal poligami ada kewajiban untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan, sebagaimana Pasal 4 ayat (1) UU 1/1974 yang berbunyi :
“Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia ‘wajib’ mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.”
Pertanyaannya adalah bagaimana keabsahan terhadap perkawinan yang kedua yang dilangsungkan sah menurut hukum agama tapi tidak ada izin dari pengadilan? Bukankah sah jika mengacu pada Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974? Sepengetahuan Penulis mencari berbagai sumber (dapat dikoreksi apabila salah), dalam hukum Islam, seorang pria bisa melaksanakan perkawinan lagi (maksimal 4 isteri) dengan tanpa adanya izin dari isteri terdahulu apalagi pihak ketiga (pengadilan).

Menurut penulis seharusnya seharusnya UU 1/1974 diperbaiki redaksinya agar tidak menjadi problematika, yaitu dengan menggabungkan kedua ayat dalam Pasal 2, dimana menjadi berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, serta wajib dicatatkan menurut peraturan perundangan yang berlaku.”

Lebih lanjut mengenai “nikah siri” ini lihat di Yurisprudensi MA Nomor 435 K/KR/1979 tertanggal 17 April 1980.

19.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 11 K/AG/2001
Tanggal : 10 Juli 2003
Kaidah Hukum :
Pemberian ½ bagian dari gaji Tergugat kepada Penggugat, sebagaimana diatur dalam pasal 8 PP 10/1983, sebagaimana telah diubah dengan PP 45/1990, mengenai Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, bukan merupakan hukum acara Peradilan agama, karena pemberian ½ gaji Tergugat kepada Penggugat merupakan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara.

20.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 348 K/AG/2002
Tanggal : 17 Maret 2004
Kaidah Hukum :
Gabungan beberapa tuntutan Penggugat dapat dibenarkan sepanjang gabungan tuntutan perceraian dengan segala akibat hukumnya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 86 UU 7/1989, sedangkan tuntutan lainnya yang tidak diatur dalam pasal tersebut cukup dinyatakan tidak dapat diterima; tidak seharusnya seluruh gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan obscuur libel.

Catatan Penulis :
Bahwa gugatan atas harta perkawinan dapat digabung dengan gugatan cerai (kumulasi obyektif) di Pengadilan Agama atas dasar alasan Pasal 86 UU 7/1989. Sebaliknya PN masih menganggap hal tersebut tidak bisa dilakukan kumulasi obyektif (penggabungan perkara dengan 2 atau lebih obyek tuntutan). Lihat lebih lanjut dalam Yurisprudensi MA Nomor 913 K/SIP/1982 tertanggal 31 Mei 1983 yang melarang penggabungan tuntutan cerai dan pembagian harta.
Bahwa Penulis setuju tuntutan cerai dan pembagian harta dapat digabung, dengan alasan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun kendalanya, yaitu selama belum adanya aturan semacam UU 7/1989 yang menegaskan dibolehkannya penggabungan tuntutan cerai dan pembagian harta, maka Yurisprudensi MA Nomor 913 K/SIP/1982 tertanggal 31 Mei 1983 tetap menjadi acuan sumber hukum.

21.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 332 K/AG/2003
Tanggal : 23 Desember 2004
Kaidah Hukum :
1)      Dalam membagi harta warisan harus disebutkan secara jelas orang-orang yang berhak menjadi ahli waris dan bagian masing-masingnya.
2)      Apabila dilakukan hibah kepada pihak lain terhadap harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris, maka hibah tersebut batal demi hukum, karena salah satu syarat hibah adalah barang yang dihibahkan harus milik pemberi hibah sendiri, dan bukan pula harta yang masih terikat dengan sengketa.
3)      Hibah yang dilakukan oleh orang-orang non-muslim tidak dilakukan berdasarkan hukum Islam, oleh karenanya penilaian mengenai sah tidaknya hibah tersebut bukan merupakan kewenangan Pengadilan Agama.

22.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 280 K/AG/2004
Tanggal : 10 Nopember 2004
Kaidah Hukum :
Apabila telah terjadi perceraian, maka akibat perceraian harus ditetapkan sesuai dengan kebutuhan hidup minimum berdasarkan kepatutan dan keadilan, dan untuk menjamin kepastian dan masa depan anak perlu ditetapkan kewajiban suami untuk membiayai nafkah anak-anaknya.

23.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 41 PK/AG/2007
Tanggal : 23 Mei 2008
Kaidah Hukum :
Pengadilan Agama tidak pernah memiliki/diberi wewenang untuk mengeluarkan fatwa atas segala sesuatu, termasuk dalam perkara a quo. Pengadilan Agama hanya mempunyai 2 (dua) jenis produk, yaitu beschikkings (penetapan) dan vonis (putusan), sehingga produk penetapan pengadilan tetap bertitel “mengadili” bukan “memberikan fatwa”, dengan demikian penetapan fatwa ahli waris yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Cianjur bersifat tidak mengikat.

24.        Putusan Mahkamah Agung Nomor 110 K/AG/2007
Tanggal : 7 Desember 2007
Kaidah Hukum :
Pertimbangan utama dalam masalah hadhanah (pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. Sekalipun si anak belum berumur 7 (tujuh) tahun, tetapi karena si ibu sering berpergian ke luar negeri sehingga tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan selama ini telah terbukti si anak telah hidup tenang dan tentram bersama ayahnya, maka demi kemaslahatan si anak hak hadanah-nya diserahkan kepada ayahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar