Selasa, 25 Oktober 2016

Yurisprudensi beserta komentar (Buku 4)



BUKU 4
PIDANA

1.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 K/KR/1968
Tanggal : 15 Pebruari 1969
Kaidah Hukum :
Dalam delik aduan, tempo yang dimaksud dalam pasal 74 ayat 1 KUHP dihitung sejak yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan, bukan sejak diketahui perbuatan yang dilakukan benar atau tidak.

Catatan Penulis :
Terdakwa dalam perkara ini kena Pasal 317 atau 220 KUHP karena dianggap melaporkan ke polisi bahwa pr. (perempuan) MACHDALENA telah memalsukan tanda tangannya dan melakukan perzinahan. Seharusnya sejak MACHDALENA sudah diperiksa tanggal 31 Mei 1963 sudah berlaku penghitungan daluarsa.
Tempo pengaduan hanya 6 bulan sejak diketahui atau 9 bulan jika di luar negeri.

2.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 27 K/KR/1969
Tanggal : 23 Mei 1970
Kaidah Hukum :
1)      Ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP berlaku juga dalam perkara-perkara yang sedang dalam tingkat banding.
2)      Dicabutnya UU Pengendalian Harga tahun 1948 dengan digantikan oleh Perpu 9/1962 bukanlah merupakan perubahan perundang-undangan, karena tetap mempertahankan prinsip bahwa harga-harga dan jasa dari barang-barang harus tetap diawasi untuk melindungi konsumen dan mencegah kenaikan harga sewenang-wenang.

3.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 54 K/KR/1969
Tanggal : 6 Juni 1970
Kaidah Hukum :
Hakim pidana tidak berwenang menetapkan ganti rugi.

Catatan Penulis :
Menjadi pertanyaan dalam hal ganti rugi sebagaimana dalam Pasal 95 KUHAP itu termasuk hakim bidang apa?

4.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 59 K/KR/1969
Tanggal : 11 Maret 1970
Kaidah Hukum :
Tidak dibenarkan menambah jenis hukuman yang ditetapkan dalam pasal 10 KUHP.

5.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 93 K/KR/1969
Tanggal : 11 Maret 1970
Kaidah Hukum :
Sengketa tentang utang-piutang merupakan sengketa perdata.

6.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 117 K/KR/1969
Tanggal : 2 Juli 1969
Kaidah Hukum :
Dalam noodtoestand/keadaan darurat harus dilihat adanya : 1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum; 2. pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum; 3. pertentangan antara 2 kewajiban hukum. Dalam perkara ini disimpulkan tidak adanya noodtoestand.

7.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 62 K/KR/1972
Tanggal : 26 Nopember 1974
Kaidah Hukum :
Menarik cek sedang orang itu tahu atau patut menduga bahwa dana untuk itu tidak lagi cukup tersedia di bank merupakan tindak pidana berdasarkan pasal 1 ayat 2 KUHP, karena undang-undang tentang penarikan cek kosong telah dicabut oleh Perpu 1/1971, yang telah disahkan dengan UU 12/1971.

Catatan Penulis :
Mungkin yang dimaksud yurisprudensi tersebut adalah “bukan merupakan tindak pidana”, oleh karena penulis baca Tertuduh (Terdakwa) dibebaskan.

8.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 124 K/KR/1972
Tanggal : 9 April 1981
Kaidah Hukum :
Perbuatan Tetuduh merusak rumah tidak dapat dituntut, karena Tertuduh adalah istri pemilik rumah tersebut.

Catatan Penulis :
Amar putusannya menyatakan bahwa Tertuduh (Terdakwa) tidak dapat dituntut menurut hukum (de strafvervolging is uitgesloten).

9.         Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 K/KR/1973
Tanggal : 14 Juli 1976
Kaidah Hukum :
Perbuatan mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan dalam pasal 154 dan 156 KUHP diartikan oleh Mahkamah Agung sebagai pengeluaran pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan dalam bentuk penghinaan, sebagaimana dimaksudkan Titel XVI pengeluaran pernyataan dalam bentuk penghinaan tidak lagi memperkenankan suatu penafsiran secara luas dan tidak lagi menyinggung secara jauh kebebasan materiil untuk menyatakan pendapat.

10.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 106 K/KR/1973
Tanggal : 12 Desember 1973
Kaidah Hukum :
Terdakwa sebagai penyelenggara arisan, karena tidak menyerahkan uang arisan yang telah terkumpul kepada anggota yang berhak, telah melakukan penggelapan; tidaklah tepat kalau arisan dianggap sebagai hubungan pinjam-meminjam tanpa bunga.

11.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 26 K/KR/1974
Tanggal : 12 Oktober 1976
Kaidah Hukum :
Pasal 315 KUHP tidak memungkinkan adanya pembuktian seperti halnya pasal 310 KUHP.
Kata-kata “merusak rumah tangga” merupakan tuduhan melakukan perbuatan tertentu seperti yang termaksud oleh pasal 310 ayat 1 KUHP.

Catatan Penulis :
Terdakwa I saat rapat minta izin ke Terdakwa II untuk membacakan tulisan yang telah dipersiapkan Terdakwa I sendiri, berbunyi :
“Saudara TAN CIN TIK telah merusak rumah tangga saya dan mencintai istri saya, yang mengakibatkan saya dengan istri saya bercerai dan menjadi berantakan rumah tangga saya.”
Terdakwa I dianggap tetap bersalah dan Terdakwa II dibebaskan pada tingkat banding.

12.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 K/KR/1975
Tanggal : 30 Oktober 1975
Kaidah Hukum :
Pengadilan Tinggi telah keliru menerapkan pasal 362 KUHP dengan mempertimbangkan bahwa “timbul keragu-raguan siapa pemiliknya dengan tidak diputus soal perdatanya”, karena pasal 362 KUHP mencantumkan juga unsur “atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain”, sedang dalam perkara ini barang-barang yang bersangkutan terbukti adalah warisan bersama dari Terdakwa dan saksi Salahuddin.

13.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 103 K/KR/1975
Tanggal : 12 Agustus 1976
Kaidah Hukum :
Buat seorang petani, arit, cangkul dan parang adalah alat pekerjaan sehari-hari, yang tidak dapat dianggap termasuk senjata tajam yang dimaksudkan oleh pasal 2 (1) UU Drt. 12/1951.

14.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 28 K/KR/1977
Tanggal : 17 April 1978
Kaidah Hukum :
Judex Facti telah salah menerapkan hukum karena mendasarkan putusannya atas keterangan saksi I saja, sedangkan para Tertuduh mangkir dan keterangan saksi lainnya tidak memberi petunjuk tentang kejahatan yang dituduhkan.

15.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 131 K/KR/1977
Tanggal : 12 Pebruari 1979
Kaidah Hukum :
Karena terlambatnya pengajuan permohonan kasasi adalah di luar kesalahan dan kemampuan Pemohon-kasasi, permohonan kasasi dapat diterima.

16.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 163 K/KR/1977
Tanggal : 11 Juni 1979
Kaidah Hukum :
Karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat tuduhan tidaklah terbukti, maka Terdakwa seharusnya “dibebaskan dari segala tuduhan” dan bukannya “dilepaskan dari tuntutan hukum”.

17.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 33 K/KR/1978
Tanggal : 23 April 1979
Kaidah Hukum :
Kawin tidaknya Tertuduh tidak membebaskan ia dari pasal 332 (1) KUHP yang dituduhkan kepadanya.

18.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 186 K/KR/1979
Tanggal : 13 Mei 1979
Kaidah Hukum :
Dalam hal Terdakwa telah meninggal dunia (pada taraf pemeriksaan banding), Pengadilan Tinggi cukup mengeluarkan penetapan yang menyatakan tuntutan hukuman gugur atau tuntutan jaksa tidak dapat diterima karena Terdakwa meninggal dunia.

19.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 435 K/KR/1979
Tanggal : 17 April 1980
Kaidah Hukum :
Keberatan Penuntut-kasasi - bahwa pasal 279 KUHP adalah pasal yang berlaku bagi perkawinan monogami, sedang Penuntut-kasasi tidak terikat dengan perkawinan monogami – tidak dapat diterima karena Penuntut-kasasi I, yang masih terikat tali perkawinan dengan seorang perempuan, tidak dapat kawin lagi sebagaimana diatur dalam pasal 9 UU tentang Perkawinan, kecuali jika memenuhi persyaratan untuk poligami.

Catatan Penulis :
Di PN diputus bebas, namun terkena dakwaan subsider pelanggaran Pasal 10 ayat (3) jis. Pasal 40, Pasal 45 ayat (1) sub (a) PP 9/1975, karena kawin tanpa adanya izin dari Pengadilan. Sehubungan dengan banding Jaksa, maka PT menyatakan bersalah dan MA juga.

Lebih lanjut mengenai perkara “kawin siri” ini dapat dibandingkan pada Yurisprudensi MA Nomor 02 K/AG/2001 tertanggal 29 September 2002, beserta komentar penulis perihal inkonsistensi UU 1/1974.

20.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 468 K/KR/1979
Tanggal : 18 Juni 1980
Kaidah Hukum :
Keberatan yang diajukan oleh Penuntut-kasasi tidak dapat dibenarkan karena hal yang dikemukakan adalah hal baru (novum) yang tidak pernah diajukan pada judex facti.

Catatan Penulis :
Penuntut-kasasi (Terdakwa) kasasi dengan alasan Terdakwa yang sekarang (perkara 478/1978/SK) dan perkara yang dulu (374/1978/SM) telah didakwa kejahatan yang sama, hanya yang melaporkan ke dalam perkara ada 2 orang, karenanya meminta MA menyatakan gugur putusan PN Mojokerto (yang dimintakan kasasi). PT dan MA menyatakan bersalah atas 303 (1) sub 1 & 2 KUHP. Alasan tersebut di atas tidak dapat dibenarkan.

21.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 53 K/KR/1980
Tanggal : 15 Nopember 1980
Kaidah Hukum :
Mengenai ukuran hukuman, hal itu adalah wewenang judex facti, yang tidak tunduk pada kasasi.

Catatan Penulis :
Penulis belum membaca isi keseluruhan yurisprudensi ini, sehingga apakah yang dimaksud menilai hukuman itu dalam artian yang dimohonkan kasasi adalah beratnya hukuman, ataukah yang dimohonkan kasasi adalah bukan beratnya hukuman tapi hal umum seperti salah penerapan hukum dsb. dalam perkara yang dimohonkan kasasi. Apabila yang dimohonkan kasasi adalah sebagai yang dimaksud dalam pengertian kedua, maka Yurisprudensi ini tampaknya sudah tak diikuti lagi saat ini. Penulis melihat banyak yang mengajukan kasasi justru hukuman diperberat. Beberapa di antara perkara yang terkenal adalah dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat ANGELINA SONDAKH (anggota DPR dari Partai Demokrat), ANAS URBANINGRUM (Ketua Umum Partai Demokrat), LUTFI HASAN ISHAQ (mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera).

22.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 329 K/KR/1980
Tanggal : 17 Desember 1980
Kaidah Hukum :
Surat penetapan yang dikeluarkan oleh suatu badan Pengadilan yang tidak berwenang untuk mengeluarkan putusan dalam hal waris-mewaris tidak dapat dipandang sebagai akta autentik seperti dimaksudkan oleh pasal 266 KUHP. Dalam perkara ini, surat penetapan ahli waris yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama di Bogor tidak dapat dipandang sebagai akta autentik.

Catatan Penulis :
Yurisprudensi tersebut sejalan dengan Pasal 1869 KUHPerdata yang menyebut :
“Suatu akta, yang, karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak.”
Definisi akta otentik disebutkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata :
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

23.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 405 K/KR/1980
Tanggal : 25 Pebruari 1981
Kaidah Hukum :
Meskipun Terdakwa hanya banding sepanjang menyangkut barang bukti, tetapi karena putusan Pengadilan Negeri berisi pembebasan dari segala tuduhan, terhadap putusan tersebut tidak dapat diajukan banding.

24.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 393 K/KR/1981
Tanggal : 30 Desember 1982
Kaidah Hukum :
Dalam perkara ini penuntutan terhadap Terdakwa atas pasal 315 KUHP dapat dibenarkan, sekalipun tidak ada pengaduan.

Catatan Penulis :
Menurut MA :
Tidak adanya pengaduan dari saksi Hasanah adalah karena Hasanah tidak mengerti/buta hukum, Tetapi tidak dituntutnya Terdakwa, semata-mata atas dasar alasan tidak adanya pengaduan, jelas tidak menguntungkan saksi HASANAH yang adalah anak haji yang dikata-katai lonte oleh Terdakwa (padahal sebenarnya bukan), sehingga prinsip delik aduan, yaitu bahwa akan lebih menguntungkan saksi apabila tidak dituntut daripada menguntungkan Pemerintah apabila dilakukan penuntutan, dalam perkara ini harus diartikan bahwa pihak Penuntut Umum-lah yang harus mengusahakan adanya pengaduan itu, dan apabila tidak, maka hal itu berarti kelalaian dari pihak Penuntut Umum, dan hal ini tidak boleh merugikan saksi yang sangat berkepentingan nama baiknya dilindungi.

Penulis sangat sulit memahami pertimbangan dan bahasa MA ini. Asasnya delik adauan harus ada aduan, namun direkonstruksi sedemikian rupa menjadi tidak perlu ada pengaduan.

25.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 451 K/KR/1981
Tanggal : 31 Mei 1982
Kaidah Hukum :
Tidaklah cukup/sempurna pertimbangan hukum untuk pemberatan hukuman salah seorang Terdakwa dengan hanya menyebutkan bahwa Terdakwa yang bersangkutan mula-mula mungkir dan berbelit-belit dalam jawabannya tetapi kemudian terus terang mengakui perbuatannya. Jika demikian Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri harus dibatalkan.

Catatan Penulis :
Kalimat terakhir seharusnya ditambah kata “putusan” sebelum “Pengadilan”, karena seolah pengadilannya yang dibatalkan.
Pada perkara ini PN dan PT menghukum Terdakwa II selama 3 tahun 6 bulan dan Terdakwa I 2 bulan. T II dianggap berbelit di PN. Pada MA hukuman Terdakwa II menjadi 2 tahun.

26.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 577 K/KR/1981
Tanggal : 31 Januari 1983
Kaidah Hukum :
Dalam hal tuduhan adalah menyuruh melakukan pencurian, orang yang disuruh (pembuat langsung atau disebut manus ministra) haruslah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Dalam perkara ini, orang yang melakukan pencurian tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, dengan demikian tuduhan primer (menyuruh melakukan pencurian) tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, dan oleh karena itu Terdakwa harus dibebaskan dari tuduhan tersebut.

Catatan Penulis :
Bahwa di PN, Terdakwa terbukti, tetapi tidak dianggap mencuri sehingga dilepaskan dan hanya kena tuduhan subsider 480 KUHP. Pada PT, Terdakwa bersalah atas tuduhan primer Pasal 55 ayat (1) jo. 363 ayat (1) sub-1 KUHP. Pada MA, Terdakwa terbukti bersalah atas tuduhan subsider Pasal 480 KUHP saja.

27.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/PID/1982
Tanggal : 30 Juni 1983
Kaidah Hukum :
Karena yang mengajukan permohonan banding hanya Terdakwa III, sedang Terdakwa I, II, IV dan VI tidak banding, maka Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara mengenai Terdakwa I, II, IV dan VI; sejauh mengenai Terdakwa I, II, IV dan VI, putusan Pengadilan Negeri sudah mempunyai kekuatan hukum pasti.

28.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 119 K/PID/1982
Tanggal : 31 Maret 1983
Kaidah Hukum :
Terhadap putusan pembebasan tidak dapat dimintakan banding oleh Jaksa, kecuali dapat dibuktikan bahwa pembebasan tersebut sebenarnya adalah pembebasan tidak murni, hal mana harus diuraikan oleh Jaksa dalam memori banding.

Catatan Penulis :
Yurisprudensi ini membuat Pasal 67, Pasal 244, dan Pasal 263 KUHAP menjadi tak berarti. Selain itu membuat definisi “bebas murni dan bebas tidak murni” yang sampai sekarang tidak bisa dijelaskan bedanya dari “bebas”. Sejauh ini penjelasannya sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan hukum pada Yurisprudensi Nomor 991 K/PID/2001 tertanggal 13 Desember 2001. Seharusnya KUHAP diamandemen terlebih dahulu (saat itu belum ada Mahkamah Konstitusi), karena dengan langkah ini berarti MA sudah meniadakan suatu kekuatan hukum dari sebuah undang-undang dan membuat aturan yang bertentangan dengan bunyi undang-undang. Bunyi KUHAP terhadap pasal-pasal tersebut sampai dengan saat ini memang tidak berubah, namun karena pihak pengadil adalah hakim, maka yurisprudensi ini dijadikan acuan oleh hakim.

29.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 553 K/PID/1982
Tanggal : 31 Januari 1983
Kaidah Hukum :
Hal mengenai ukuran hukuman adalah wewenang judex facti yang tidak tunduk pada kasasi kecuali apabila judex facti menjatuhkan hukuman yang tidak diatur oleh undang-undang atau tidak/kurang memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman.

Catatan Penulis :
Hal ini serupa dengan Yurisprudensi Nomor 1953 K/PID/1988 tertanggal 23 Januari 1993. Lihat pula catatan pada Yurisprudensi Nomor 53 K/KR/1980 tertanggal 15 Nopember 1980.

30.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 561 K/PID/1982
Tanggal : 30 Juli 1983
Kaidah Hukum :
Menurut yurisprudensi, pasal 284 ayat 1 KUHP berlaku bagi seorang suami yang tidak tunduk pada pasal 27 BW. Meskipun demikian, hal itu tidaklah berarti bahwa untuk diindahkannya pengaduan dari suami yang dipermalukan harus terlebih dulu ada perceraian antara dia dan istrinya yang berzina.

Catatan Penulis :
Setelah adanya UU 1/1974 tentang Perkawinan, maka sudah tidak seharusnya diberlakukan pasal yang menyangkut perkawinan di dalam KUHPerdata, karena asas lex specialis dan lex posteriori. Terlepas dari itu, kata-kata dalam Pasal 284 KUHP ini seharusnya diamandemen dan tidak begitu saja ditiadakan kekuatan hukumnya.

31.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 628 K/PID/1984
Tanggal : 22 Juli 1985
Kaidah Hukum :
Pengadilan Tinggi, sebelum memutus pokok perkara, seharusnya menunggu dulu sampai putusan Pengadilan yang menentukan status pemilikan tanah dan rumah tersebut mempunyai kekuatan pasti.

Catatan Penulis :
Hal ini sejalan dengan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 (Perma 1/1956)  :
“Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.”

32.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 808 K/PID/1984
Tanggal : 29 Juni 1985
Kaidah Hukum :
Dakwaan yang tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum.

33.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 1130 K/PID/1984
Tanggal : 18 Desember 1987
Kaidah Hukum :
Apabila Terdakwa tidak mengetahui/menduga/menyangka barang-barang tersebut berasal dari kejahatan, karena itu adalah salah satu unsur dari pasal 480 KUHP tidak dapat dibuktikan, maka Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan dan bukan dilepas dari tuntutan hukum.

34.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 1205 K/PID/1985
Tanggal : 23 Juni 1987
Kaidah Hukum :
Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana termaksud dalam pasal 310 (2) KUHP, karena kata-kata yang Terdakwa tulis dalam surat kontra memori banding ditujukan kepada Pengadilan Tinggi Agama, tanpa maksud untuk diketahui oleh umum.

35.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 1295 K/PID/1985
Tanggal : 2 Januari 1986
Kaidah Hukum :
Mahkamah Agung tidak menyetujui pertimbangan judex facti bahwa unsur niat/kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang lain harus terbukti dengan beberapa tusukan, karena bagi seorang yang ahli, satu tusukan yang tepat sudah cukup mematikan. Bahwa korban tidak meninggal dengan seketika, itu tidak berarti bahwa Terdakwa tidak mempunyai niat/kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang lain dapat dibuktikan dengan alat yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan tempat yang dilukai alat itu pada badan korban. Dalam perkara ini, alatnya adalah alat yang dapat menimbulkan kematian. Sedangkan tempat pada badan korban adalah dada sebelah kiri sehingga tusukan dengan pisau dapur tersebut menimbulkan saluran luka. Dengan demikian, Terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan.

36.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 736 K/PID/1988
Tanggal : 25 Oktober 1990
Kaidah Hukum :
Dalam amar putusan cukup disebutkan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan mempunyai, menaruh, memamerkan, memakai, dan menyediakan untuk dipakai alat ukur, takaran, timbangan atau alat perlengkapan yang tidak bertanda tera yang sah berlaku atau setidak-tidaknya disertai dengan keterangan pengesahan yang berlaku. Adapun pasal-pasal dari UU yang dilanggar tidak perlu dicantumkan dalam amar putusan.

37.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 1804 K/PID/1988
Tanggal : 12 Pebruari 1992
Kaidah Hukum :
Dari ilmu hukum pidana, “menyuruh-lakukan” mengandung arti bahwa si pelaku langsung tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara pidana. Tetapi dalam perkara ini keadaannya tidak demikian; dengan melihat bukti-bukti perbuatan Terdakwa, jelas bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa adalah suatu perbuatan yang langsung dilakukan oleh Terdakwa. Jadi, Terdakwa adalah pelaku langsung, bukan menyuruhlakukan seperti pendapat judex facti.

38.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 1953 K/PID/1988
Tanggal : 23 Januari 1993
Kaidah Hukum :
Berat ringannya pidana adalah wewenang judex facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex facti menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan undang-undang atau pidana yang dijatuhkan tanpa pertimbangan yang cukup.

Catatan Penulis :
Hal ini serupa dengan Yurisprudensi Nomor 553 K/PID/1982 tertanggal 31 Januari 1983. Lihat pula catatan pada Yurisprudensi Nomor 53 K/KR/1980 tertanggal 15 Nopember 1980.

39.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 1036 K/PID/1989
Tanggal : 31 Agustus 1992
Kaidah Hukum :
Karena sejak semula Terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban tidak ada dananya atau dikenal sebagai cek kosong, tuduhan penipuan harus dianggap terbukti.

Catatan Penulis :
Hal ini berbeda dengan Yurisprudensi Nomor 62 K/KR/1972 tertanggal 26 Nopember 1974. Undang-undang tentang penarikan cek kosong memang telah dicabut oleh Perpu 1/1971, yang telah disahkan dengan UU 12/1971, namun masih dapat dikenakan 378 KUHP masih bisa dikenakan. Lebih lanjut mengenai hal ini, ada anggapan bilyet giro (BG) kosong seharusnya juga bisa dikenakan 378 KUHP karena memiliki modus yang sama dengan cek kosong, namun ada juga yang beranggapan 378 KUHP terbatas pada cek kosong bukang BG kosong. Alasan tidak masuk ada yang beranggapan karena yang menerbitkan BG kosong dapat memberitahukan kepada penarik BG perihal ketidakadaan dana. Hal ini kurang kuat menjadi dasar karena dalam cek pun bisa dilakukan hal serupa.

40.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 202 K/PID/1990
Tanggal : 30 Januari 1993
Kaidah Hukum :
Putusan Pengadilan Tinggi yang memperberat pidana tanpa menyebutkan sama sekali apa yang dapat dinilai sebagai hal yang dapat memperberat pidana tersebut, melainkan hanya menganggap pidana yang dijatuhkan Pengadilan Negeri terlalu ringan, padahal Pengadilan Tinggi telah menyetujui pertimbangan hukum dan hal yang memberatkan serta yang meringankan sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri, dianggap sebagai putusan yang tidak cukup dipertimbangkan, dan cukup alasan untuk membatalkannya.

41.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 1104 K/PID/1990
Tanggal : 27 Pebruari 1993
Kaidah Hukum :
Judex facti telah salah menerapkan hukum, sebab korban jatuh karena terserempet oleh pengendara sepeda yang di depannya dan karena jatuhnya ke kanan maka korban tergilas oleh roda bus yang dikemudikan Terdakwa; ternyata kendaraan bus yang dikemudikan Terdakwa berada di jalur yang benar atau di sebelah kiri, sehingga tidak terbukti adanya unsur kelalaian/kealpaan pada diri Terdakwa, dan Mahkamah Agung mengadili sendiri.

42.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 1077 K/PID/1997
Tanggal : 17 Pebruari 1998
Kaidah Hukum :
Pasal 284 KUHP ditujukan kepada orang yang terhadap-nya berlaku ketentuan pasal 27 KUHPerdata yang hanya dapat diberlakukan bagi golongan Tionghoa. Maka pasal 284 KUHP tidak dapat diterapkan/diberlakukan terhadap diri Terdakwa I dan II yang tidak termasuk golongan orang Tionghoa, melainkan orang Indonesia asli/pribumi asli.

Catatan Penulis :
Bandingkan dengan Yurisprudensi Nomor 561 K/PID/1982 tertanggal 30 Juli 1983 yang mengatakan dalam kaidah hukumnya : “Menurut yurisprudensi, pasal 284 ayat 1 KUHP berlaku bagi seorang suami yang tidak tunduk pada pasal 27 BW.”. Bukankah kedua yurisprudensi ini bertentangan?

43.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 1166 K/PID/1997
Tanggal : 22 Januari 1997
Kaidah Hukum :
Adalah tepat dan benar beralasan hukum apabila barang bukti berupa kapal motor, yang terbukti dipergunakan oleh pelaku tindak pidana dalam melakukan kejahatan atau pelanggaran, dirampas untuk Negara, tanpa perlu mempertimbangkan siapa pemilik kapal motor tersebut.

Catatan Penulis :
Bahwa yurisprudensi ini bertentangan dengan KUHP sebagai sumber hukum utama dalam perkara pidana.
Bunyi Pasal 39 ayat (1) KUHP :
“Barang ‘kepunyaan terpidana’ yang diperolehnya dengan kejahatan atau yang dengan sengaja telah dipakainya untuk mengerjakan kejahatan boleh dirampas.”
Bahwa kata-kata “kepunyaan terpidana” ini seharusnya sudah jelas berarti harus dipertimbangkan siapa pemilik barang yang akan dirampas, yaitu barang milik terpidana atau bukan. Hal ini juga didukung oleh pendapat R. SUGANDHI, S.H. dalam bukunya KUHP dan Penjelasannya (Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, hlm. 39) :
“b. yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, misalnya : golok atau senjata api yang dipakai untuk melakukan pembunuhan dengan sengaja, alat-alat yang dipakai untuk menggugurkan kandungan dan sebagainya. Barang-barang ini dapat dirampas juga, akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat bahwa barang-barang itu ‘kepunyaan terhukum’ dan digunakan untuk melakukan kejahatan-kejahatan dengan sengaja.”

44.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 991 K/PID/2001
Tanggal : 13 Desember 2001 (diputus PN 18 Desember 2000)
Kaidah Hukum :
Judex facti telah salah menerapkan hukum, terutama hukum pembuktian, yaitu hanya memperhatikan keterangan seorang saksi, sementara hak-hak saksi lainnya diabaikan, sekalipun semua saksi disumpah menurut agamanya masing-masing (unus testis nullus testis).

Catatan Penulis :
Adanya putusan bebas dalam tingkat kasasi, MA berpendapat sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa namun demikian sesuai dengan yurisprudensi yang sudah ada, apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan Terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP tersebut, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Menimbang, bahwa sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya (meskipun mengenai hal ini tidak diajukan sebagai keberatan kasasi), Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya bahwa pembebasan itu merupakan bukan pembebasan yang murni harus menerima permohonan kasasi tersebut.”

45.     Putusan Mahkamah Agung Nomor 38 PK/PID/2003
Tanggal : 26 Juli 2002
Kaidah Hukum :
Terdapat kekeliruan atau kekhilafan yang nyata karena judex facti dalam pertimbangan hukumnya sama sekali tidak mempertimbangkan prinsip keadilan bagi pemohon PK.

Catatan Penulis :
Bahwa dalam perkara pembunuhan hakim SYAIFUDDIN KARTASASMITA oleh TOMY SOEHARTO ini ada 4 dakwaan :
I.           menyuruh memiliki senjata api Pasal 1 ayat (1) UU Drt. 12/1951 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
II.        memiliki senjata api Pasal 1 ayat (1) UU Drt. 12/1951.
III.      uitloker 340 jo. 55 (1) ke-2 KUHP.
IV.     lari dari eksekusi perkara korupsi Goro 215 ayat (1) KUHP.
Hanya alasan PK terhadap dakwaan ke-4 yang diterima dengan alasan judex facti telah menghukum Terdakwa terhadap dakswaan IV tanpa mempertimbangkan bahwa putusan kasasi nomor 1 K/PID/2000 tertanggal 22 September 2000 telah dibatalkan oleh MA dengan putusan PK Nomor 78 PK/PID/2000 tanggal 1 Oktober 2001. Bahwa karena sudah dibebaskan atas perkara korupsi, maka tindakan Terdakwa yang kabur dari eksekusi terbukti bukan tindak pidana/lepas. Perbuatan lari tersebut tidak lagi mengandung sifat melawan hukum secara materiil (materiete wedererechtelijk).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar