BUKU 4
PIDANA
1.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 K/KR/1968
Tanggal
: 15 Pebruari 1969
Kaidah
Hukum :
Dalam delik aduan, tempo yang
dimaksud dalam pasal 74 ayat 1 KUHP dihitung sejak yang berhak mengadu
mengetahui perbuatan yang dilakukan, bukan sejak diketahui perbuatan yang
dilakukan benar atau tidak.
Catatan
Penulis :
Terdakwa dalam perkara ini kena
Pasal 317 atau 220 KUHP karena dianggap melaporkan ke polisi bahwa pr.
(perempuan) MACHDALENA telah memalsukan tanda tangannya dan melakukan
perzinahan. Seharusnya sejak MACHDALENA sudah diperiksa tanggal 31 Mei 1963
sudah berlaku penghitungan daluarsa.
Tempo pengaduan hanya 6 bulan sejak
diketahui atau 9 bulan jika di luar negeri.
2.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 27 K/KR/1969
Tanggal
: 23 Mei 1970
Kaidah
Hukum :
1)
Ketentuan
pasal 1 ayat 2 KUHP berlaku juga dalam perkara-perkara yang sedang dalam
tingkat banding.
2)
Dicabutnya
UU Pengendalian Harga tahun 1948 dengan digantikan oleh Perpu 9/1962 bukanlah
merupakan perubahan perundang-undangan, karena tetap mempertahankan prinsip
bahwa harga-harga dan jasa dari barang-barang harus tetap diawasi untuk
melindungi konsumen dan mencegah kenaikan harga sewenang-wenang.
3.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 54 K/KR/1969
Tanggal
: 6 Juni 1970
Kaidah
Hukum :
Hakim pidana tidak berwenang
menetapkan ganti rugi.
Catatan
Penulis :
Menjadi pertanyaan dalam hal ganti
rugi sebagaimana dalam Pasal 95 KUHAP itu termasuk hakim bidang apa?
4.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 59 K/KR/1969
Tanggal
: 11 Maret 1970
Kaidah
Hukum :
Tidak dibenarkan menambah jenis
hukuman yang ditetapkan dalam pasal 10 KUHP.
5.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 93 K/KR/1969
Tanggal
: 11 Maret 1970
Kaidah
Hukum :
Sengketa tentang utang-piutang
merupakan sengketa perdata.
6.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 117 K/KR/1969
Tanggal
: 2 Juli 1969
Kaidah
Hukum :
Dalam noodtoestand/keadaan darurat harus dilihat adanya : 1. Pertentangan
antara dua kepentingan hukum; 2. pertentangan antara kepentingan hukum dan
kewajiban hukum; 3. pertentangan antara 2 kewajiban hukum. Dalam perkara ini
disimpulkan tidak adanya noodtoestand.
7.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 62 K/KR/1972
Tanggal
: 26 Nopember 1974
Kaidah
Hukum :
Menarik cek sedang orang itu tahu
atau patut menduga bahwa dana untuk itu tidak lagi cukup tersedia di bank
merupakan tindak pidana berdasarkan pasal 1 ayat 2 KUHP, karena undang-undang
tentang penarikan cek kosong telah dicabut oleh Perpu 1/1971, yang telah
disahkan dengan UU 12/1971.
Catatan
Penulis :
Mungkin yang dimaksud yurisprudensi
tersebut adalah “bukan merupakan tindak pidana”, oleh karena penulis baca
Tertuduh (Terdakwa) dibebaskan.
8.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 124 K/KR/1972
Tanggal
: 9 April 1981
Kaidah
Hukum :
Perbuatan Tetuduh merusak rumah
tidak dapat dituntut, karena Tertuduh adalah istri pemilik rumah tersebut.
Catatan
Penulis :
Amar putusannya menyatakan bahwa
Tertuduh (Terdakwa) tidak dapat dituntut menurut hukum (de strafvervolging is uitgesloten).
9.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 K/KR/1973
Tanggal
: 14 Juli 1976
Kaidah
Hukum :
Perbuatan mengeluarkan pernyataan
permusuhan, benci atau merendahkan dalam pasal 154 dan 156 KUHP diartikan oleh
Mahkamah Agung sebagai pengeluaran pernyataan permusuhan, benci atau
merendahkan dalam bentuk penghinaan, sebagaimana dimaksudkan Titel XVI
pengeluaran pernyataan dalam bentuk penghinaan tidak lagi memperkenankan suatu
penafsiran secara luas dan tidak lagi menyinggung secara jauh kebebasan
materiil untuk menyatakan pendapat.
10. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 106 K/KR/1973
Tanggal
: 12 Desember 1973
Kaidah
Hukum :
Terdakwa sebagai penyelenggara
arisan, karena tidak menyerahkan uang arisan yang telah terkumpul kepada
anggota yang berhak, telah melakukan penggelapan; tidaklah tepat kalau arisan
dianggap sebagai hubungan pinjam-meminjam tanpa bunga.
11. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 26 K/KR/1974
Tanggal
: 12 Oktober 1976
Kaidah
Hukum :
Pasal 315 KUHP tidak memungkinkan
adanya pembuktian seperti halnya pasal 310 KUHP.
Kata-kata “merusak rumah tangga”
merupakan tuduhan melakukan perbuatan tertentu seperti yang termaksud oleh
pasal 310 ayat 1 KUHP.
Catatan
Penulis :
Terdakwa I saat rapat minta izin ke
Terdakwa II untuk membacakan tulisan yang telah dipersiapkan Terdakwa I
sendiri, berbunyi :
“Saudara
TAN CIN TIK telah merusak rumah tangga saya dan mencintai istri saya, yang
mengakibatkan saya dengan istri saya bercerai dan menjadi berantakan rumah
tangga saya.”
Terdakwa I dianggap tetap bersalah
dan Terdakwa II dibebaskan pada tingkat banding.
12. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 71 K/KR/1975
Tanggal
: 30 Oktober 1975
Kaidah
Hukum :
Pengadilan Tinggi telah keliru
menerapkan pasal 362 KUHP dengan mempertimbangkan bahwa “timbul keragu-raguan
siapa pemiliknya dengan tidak diputus soal perdatanya”, karena pasal 362 KUHP
mencantumkan juga unsur “atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain”, sedang dalam
perkara ini barang-barang yang bersangkutan terbukti adalah warisan bersama
dari Terdakwa dan saksi Salahuddin.
13. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 103 K/KR/1975
Tanggal
: 12 Agustus 1976
Kaidah
Hukum :
Buat seorang petani, arit, cangkul
dan parang adalah alat pekerjaan sehari-hari, yang tidak dapat dianggap
termasuk senjata tajam yang dimaksudkan oleh pasal 2 (1) UU Drt. 12/1951.
14. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 28 K/KR/1977
Tanggal
: 17 April 1978
Kaidah
Hukum :
Judex
Facti telah salah
menerapkan hukum karena mendasarkan putusannya atas keterangan saksi I saja,
sedangkan para Tertuduh mangkir dan keterangan saksi lainnya tidak memberi
petunjuk tentang kejahatan yang dituduhkan.
15. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 131 K/KR/1977
Tanggal
: 12 Pebruari 1979
Kaidah
Hukum :
Karena terlambatnya pengajuan
permohonan kasasi adalah di luar kesalahan dan kemampuan Pemohon-kasasi,
permohonan kasasi dapat diterima.
16. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 163 K/KR/1977
Tanggal
: 11 Juni 1979
Kaidah
Hukum :
Karena unsur-unsur tindak pidana yang
dinyatakan dalam surat tuduhan tidaklah terbukti, maka Terdakwa seharusnya
“dibebaskan dari segala tuduhan” dan bukannya “dilepaskan dari tuntutan hukum”.
17. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 33 K/KR/1978
Tanggal
: 23 April 1979
Kaidah
Hukum :
Kawin tidaknya Tertuduh tidak
membebaskan ia dari pasal 332 (1) KUHP yang dituduhkan kepadanya.
18. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 186 K/KR/1979
Tanggal
: 13 Mei 1979
Kaidah
Hukum :
Dalam hal Terdakwa telah meninggal
dunia (pada taraf pemeriksaan banding), Pengadilan Tinggi cukup mengeluarkan
penetapan yang menyatakan tuntutan hukuman gugur atau tuntutan jaksa tidak
dapat diterima karena Terdakwa meninggal dunia.
19. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 435 K/KR/1979
Tanggal
: 17 April 1980
Kaidah
Hukum :
Keberatan Penuntut-kasasi - bahwa
pasal 279 KUHP adalah pasal yang berlaku bagi perkawinan monogami, sedang
Penuntut-kasasi tidak terikat dengan perkawinan monogami – tidak dapat diterima
karena Penuntut-kasasi I, yang masih terikat tali perkawinan dengan seorang
perempuan, tidak dapat kawin lagi sebagaimana diatur dalam pasal 9 UU tentang
Perkawinan, kecuali jika memenuhi persyaratan untuk poligami.
Catatan
Penulis :
Di PN diputus bebas, namun terkena
dakwaan subsider pelanggaran Pasal 10 ayat (3) jis. Pasal 40, Pasal 45 ayat (1)
sub (a) PP 9/1975, karena kawin tanpa adanya izin dari Pengadilan. Sehubungan
dengan banding Jaksa, maka PT menyatakan bersalah dan MA juga.
Lebih lanjut mengenai perkara “kawin
siri” ini dapat dibandingkan pada Yurisprudensi MA Nomor 02 K/AG/2001
tertanggal 29 September 2002, beserta komentar penulis perihal inkonsistensi UU
1/1974.
20. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 468 K/KR/1979
Tanggal
: 18 Juni 1980
Kaidah
Hukum :
Keberatan yang diajukan oleh
Penuntut-kasasi tidak dapat dibenarkan karena hal yang dikemukakan adalah hal
baru (novum) yang tidak pernah diajukan pada judex facti.
Catatan
Penulis :
Penuntut-kasasi (Terdakwa) kasasi
dengan alasan Terdakwa yang sekarang (perkara 478/1978/SK) dan perkara yang
dulu (374/1978/SM) telah didakwa kejahatan yang sama, hanya yang melaporkan ke
dalam perkara ada 2 orang, karenanya meminta MA menyatakan gugur putusan PN
Mojokerto (yang dimintakan kasasi). PT dan MA menyatakan bersalah atas 303 (1)
sub 1 & 2 KUHP. Alasan tersebut di atas tidak dapat dibenarkan.
21. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 53 K/KR/1980
Tanggal
: 15 Nopember 1980
Kaidah
Hukum :
Mengenai ukuran hukuman, hal itu
adalah wewenang judex facti, yang
tidak tunduk pada kasasi.
Catatan
Penulis :
Penulis belum membaca isi
keseluruhan yurisprudensi ini, sehingga apakah yang dimaksud menilai hukuman
itu dalam artian yang dimohonkan kasasi adalah beratnya hukuman, ataukah yang
dimohonkan kasasi adalah bukan beratnya hukuman tapi hal umum seperti salah
penerapan hukum dsb. dalam perkara yang dimohonkan kasasi. Apabila yang dimohonkan
kasasi adalah sebagai yang dimaksud dalam pengertian kedua, maka Yurisprudensi
ini tampaknya sudah tak diikuti lagi saat ini. Penulis melihat banyak yang
mengajukan kasasi justru hukuman diperberat. Beberapa di antara perkara yang
terkenal adalah dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat ANGELINA SONDAKH
(anggota DPR dari Partai Demokrat), ANAS URBANINGRUM (Ketua Umum Partai
Demokrat), LUTFI HASAN ISHAQ (mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera).
22. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 329 K/KR/1980
Tanggal
: 17 Desember 1980
Kaidah
Hukum :
Surat penetapan yang dikeluarkan
oleh suatu badan Pengadilan yang tidak berwenang untuk mengeluarkan putusan
dalam hal waris-mewaris tidak dapat dipandang sebagai akta autentik seperti
dimaksudkan oleh pasal 266 KUHP. Dalam perkara ini, surat penetapan ahli waris
yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama di Bogor tidak dapat dipandang sebagai
akta autentik.
Catatan
Penulis :
Yurisprudensi tersebut sejalan
dengan Pasal 1869 KUHPerdata yang menyebut :
“Suatu
akta, yang, karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud di atas,
atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta
otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika
ia ditandatangani oleh para pihak.”
Definisi akta otentik disebutkan
dalam Pasal 1868 KUHPerdata :
“Suatu
akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”
23. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 405 K/KR/1980
Tanggal
: 25 Pebruari 1981
Kaidah
Hukum :
Meskipun Terdakwa hanya banding
sepanjang menyangkut barang bukti, tetapi karena putusan Pengadilan Negeri
berisi pembebasan dari segala tuduhan, terhadap putusan tersebut tidak dapat
diajukan banding.
24. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 393 K/KR/1981
Tanggal
: 30 Desember 1982
Kaidah
Hukum :
Dalam perkara ini penuntutan
terhadap Terdakwa atas pasal 315 KUHP dapat dibenarkan, sekalipun tidak ada
pengaduan.
Catatan
Penulis :
Menurut MA :
Tidak
adanya pengaduan dari saksi Hasanah adalah karena Hasanah tidak mengerti/buta
hukum, Tetapi tidak dituntutnya Terdakwa, semata-mata atas dasar alasan tidak
adanya pengaduan, jelas tidak menguntungkan saksi HASANAH yang adalah anak haji
yang dikata-katai lonte oleh Terdakwa (padahal sebenarnya bukan), sehingga
prinsip delik aduan, yaitu bahwa akan lebih menguntungkan saksi apabila tidak
dituntut daripada menguntungkan Pemerintah apabila dilakukan penuntutan, dalam
perkara ini harus diartikan bahwa pihak Penuntut Umum-lah yang harus
mengusahakan adanya pengaduan itu, dan apabila tidak, maka hal itu berarti
kelalaian dari pihak Penuntut Umum, dan hal ini tidak boleh merugikan saksi
yang sangat berkepentingan nama baiknya dilindungi.
Penulis sangat sulit memahami
pertimbangan dan bahasa MA ini. Asasnya delik adauan harus ada aduan, namun
direkonstruksi sedemikian rupa menjadi tidak perlu ada pengaduan.
25. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 451 K/KR/1981
Tanggal
: 31 Mei 1982
Kaidah
Hukum :
Tidaklah cukup/sempurna pertimbangan
hukum untuk pemberatan hukuman salah seorang Terdakwa dengan hanya menyebutkan
bahwa Terdakwa yang bersangkutan mula-mula mungkir dan berbelit-belit dalam
jawabannya tetapi kemudian terus terang mengakui perbuatannya. Jika demikian
Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri harus dibatalkan.
Catatan
Penulis :
Kalimat terakhir seharusnya ditambah
kata “putusan” sebelum “Pengadilan”, karena seolah pengadilannya yang
dibatalkan.
Pada perkara ini PN dan PT menghukum
Terdakwa II selama 3 tahun 6 bulan dan Terdakwa I 2 bulan. T II dianggap
berbelit di PN. Pada MA hukuman Terdakwa II menjadi 2 tahun.
26. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 577 K/KR/1981
Tanggal
: 31 Januari 1983
Kaidah
Hukum :
Dalam hal tuduhan adalah menyuruh
melakukan pencurian, orang yang disuruh (pembuat langsung atau disebut manus ministra) haruslah orang yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Dalam perkara ini, orang
yang melakukan pencurian tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya, dengan demikian tuduhan primer (menyuruh melakukan pencurian)
tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, dan oleh karena itu Terdakwa harus
dibebaskan dari tuduhan tersebut.
Catatan
Penulis :
Bahwa di PN, Terdakwa terbukti,
tetapi tidak dianggap mencuri sehingga dilepaskan dan hanya kena tuduhan
subsider 480 KUHP. Pada PT, Terdakwa bersalah atas tuduhan primer Pasal 55 ayat
(1) jo. 363 ayat (1) sub-1 KUHP. Pada MA, Terdakwa terbukti bersalah atas
tuduhan subsider Pasal 480 KUHP saja.
27. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 51 K/PID/1982
Tanggal
: 30 Juni 1983
Kaidah
Hukum :
Karena yang mengajukan permohonan
banding hanya Terdakwa III, sedang Terdakwa I, II, IV dan VI tidak banding,
maka Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara
mengenai Terdakwa I, II, IV dan VI; sejauh mengenai Terdakwa I, II, IV dan VI,
putusan Pengadilan Negeri sudah mempunyai kekuatan hukum pasti.
28. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 119 K/PID/1982
Tanggal
: 31 Maret 1983
Kaidah
Hukum :
Terhadap putusan pembebasan tidak
dapat dimintakan banding oleh Jaksa, kecuali dapat dibuktikan bahwa pembebasan
tersebut sebenarnya adalah pembebasan tidak murni, hal mana harus diuraikan
oleh Jaksa dalam memori banding.
Catatan
Penulis :
Yurisprudensi ini membuat Pasal 67,
Pasal 244, dan Pasal 263 KUHAP menjadi tak berarti. Selain itu membuat definisi
“bebas murni dan bebas tidak murni” yang sampai sekarang tidak bisa dijelaskan
bedanya dari “bebas”. Sejauh ini penjelasannya sebagaimana diuraikan dalam
pertimbangan hukum pada Yurisprudensi Nomor 991 K/PID/2001 tertanggal 13
Desember 2001. Seharusnya KUHAP diamandemen terlebih dahulu (saat itu belum ada
Mahkamah Konstitusi), karena dengan langkah ini berarti MA sudah meniadakan
suatu kekuatan hukum dari sebuah undang-undang dan membuat aturan yang
bertentangan dengan bunyi undang-undang. Bunyi KUHAP terhadap pasal-pasal
tersebut sampai dengan saat ini memang tidak berubah, namun karena pihak
pengadil adalah hakim, maka yurisprudensi ini dijadikan acuan oleh hakim.
29. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 553 K/PID/1982
Tanggal
: 31 Januari 1983
Kaidah
Hukum :
Hal mengenai ukuran hukuman adalah
wewenang judex facti yang tidak
tunduk pada kasasi kecuali apabila judex
facti menjatuhkan hukuman yang tidak diatur oleh undang-undang atau
tidak/kurang memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan
meringankan hukuman.
Catatan
Penulis :
Hal ini serupa dengan Yurisprudensi
Nomor 1953 K/PID/1988 tertanggal 23 Januari 1993. Lihat pula catatan pada
Yurisprudensi Nomor 53 K/KR/1980 tertanggal 15 Nopember 1980.
30. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 561 K/PID/1982
Tanggal
: 30 Juli 1983
Kaidah
Hukum :
Menurut yurisprudensi, pasal 284
ayat 1 KUHP berlaku bagi seorang suami yang tidak tunduk pada pasal 27 BW.
Meskipun demikian, hal itu tidaklah berarti bahwa untuk diindahkannya pengaduan
dari suami yang dipermalukan harus terlebih dulu ada perceraian antara dia dan
istrinya yang berzina.
Catatan
Penulis :
Setelah adanya UU 1/1974 tentang
Perkawinan, maka sudah tidak seharusnya diberlakukan pasal yang menyangkut
perkawinan di dalam KUHPerdata, karena asas lex
specialis dan lex posteriori.
Terlepas dari itu, kata-kata dalam Pasal 284 KUHP ini seharusnya diamandemen
dan tidak begitu saja ditiadakan kekuatan hukumnya.
31. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 628 K/PID/1984
Tanggal
: 22 Juli 1985
Kaidah
Hukum :
Pengadilan Tinggi, sebelum memutus
pokok perkara, seharusnya menunggu dulu sampai putusan Pengadilan yang
menentukan status pemilikan tanah dan rumah tersebut mempunyai kekuatan pasti.
Catatan
Penulis :
Hal ini sejalan dengan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956
(Perma 1/1956) :
“Apabila pemeriksaan perkara pidana
harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang
suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu
suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau
tidak adanya hak perdata itu.”
32. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 808 K/PID/1984
Tanggal
: 29 Juni 1985
Kaidah
Hukum :
Dakwaan yang tidak cermat, tidak jelas
dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum.
33. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1130 K/PID/1984
Tanggal
: 18 Desember 1987
Kaidah
Hukum :
Apabila Terdakwa tidak
mengetahui/menduga/menyangka barang-barang tersebut berasal dari kejahatan,
karena itu adalah salah satu unsur dari pasal 480 KUHP tidak dapat dibuktikan,
maka Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan dan bukan dilepas dari tuntutan
hukum.
34. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1205 K/PID/1985
Tanggal
: 23 Juni 1987
Kaidah
Hukum :
Terdakwa tidak terbukti melakukan
tindak pidana termaksud dalam pasal 310 (2) KUHP, karena kata-kata yang
Terdakwa tulis dalam surat kontra memori banding ditujukan kepada Pengadilan
Tinggi Agama, tanpa maksud untuk diketahui oleh umum.
35. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1295 K/PID/1985
Tanggal
: 2 Januari 1986
Kaidah
Hukum :
Mahkamah Agung tidak menyetujui
pertimbangan judex facti bahwa unsur
niat/kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang lain harus terbukti dengan
beberapa tusukan, karena bagi seorang yang ahli, satu tusukan yang tepat sudah
cukup mematikan. Bahwa korban tidak meninggal dengan seketika, itu tidak
berarti bahwa Terdakwa tidak mempunyai niat/kesengajaan untuk menghilangkan
nyawa orang lain dapat dibuktikan dengan alat yang dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana tersebut dan tempat yang dilukai alat itu pada badan korban.
Dalam perkara ini, alatnya adalah alat yang dapat menimbulkan kematian.
Sedangkan tempat pada badan korban adalah dada sebelah kiri sehingga tusukan
dengan pisau dapur tersebut menimbulkan saluran luka. Dengan demikian, Terdakwa
telah terbukti dengan sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan.
36. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 736 K/PID/1988
Tanggal
: 25 Oktober 1990
Kaidah
Hukum :
Dalam amar putusan cukup disebutkan
bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan
mempunyai, menaruh, memamerkan, memakai, dan menyediakan untuk dipakai alat
ukur, takaran, timbangan atau alat perlengkapan yang tidak bertanda tera yang
sah berlaku atau setidak-tidaknya disertai dengan keterangan pengesahan yang
berlaku. Adapun pasal-pasal dari UU yang dilanggar tidak perlu dicantumkan
dalam amar putusan.
37. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1804 K/PID/1988
Tanggal
: 12 Pebruari 1992
Kaidah
Hukum :
Dari ilmu hukum pidana,
“menyuruh-lakukan” mengandung arti bahwa si pelaku langsung tidak dapat
dipertanggung-jawabkan secara pidana. Tetapi dalam perkara ini keadaannya tidak
demikian; dengan melihat bukti-bukti perbuatan Terdakwa, jelas bahwa apa yang
dilakukan oleh Terdakwa adalah suatu perbuatan yang langsung dilakukan oleh
Terdakwa. Jadi, Terdakwa adalah pelaku langsung, bukan menyuruhlakukan seperti
pendapat judex facti.
38. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1953 K/PID/1988
Tanggal
: 23 Januari 1993
Kaidah
Hukum :
Berat ringannya pidana adalah
wewenang judex facti yang tidak
tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex
facti menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan
undang-undang atau pidana yang dijatuhkan tanpa pertimbangan yang cukup.
Catatan
Penulis :
Hal ini serupa dengan Yurisprudensi
Nomor 553 K/PID/1982 tertanggal 31 Januari 1983. Lihat pula catatan pada
Yurisprudensi Nomor 53 K/KR/1980 tertanggal 15 Nopember 1980.
39. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1036 K/PID/1989
Tanggal
: 31 Agustus 1992
Kaidah
Hukum :
Karena sejak semula Terdakwa telah
dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban tidak
ada dananya atau dikenal sebagai cek kosong, tuduhan penipuan harus dianggap
terbukti.
Catatan
Penulis :
Hal ini berbeda dengan Yurisprudensi
Nomor 62 K/KR/1972 tertanggal 26 Nopember 1974. Undang-undang tentang penarikan
cek kosong memang telah dicabut oleh Perpu 1/1971, yang telah disahkan dengan
UU 12/1971, namun masih dapat dikenakan 378 KUHP masih bisa dikenakan. Lebih
lanjut mengenai hal ini, ada anggapan bilyet giro (BG) kosong seharusnya juga
bisa dikenakan 378 KUHP karena memiliki modus yang sama dengan cek kosong,
namun ada juga yang beranggapan 378 KUHP terbatas pada cek kosong bukang BG
kosong. Alasan tidak masuk ada yang beranggapan karena yang menerbitkan BG
kosong dapat memberitahukan kepada penarik BG perihal ketidakadaan dana. Hal
ini kurang kuat menjadi dasar karena dalam cek pun bisa dilakukan hal serupa.
40. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 202 K/PID/1990
Tanggal
: 30 Januari 1993
Kaidah
Hukum :
Putusan Pengadilan Tinggi yang
memperberat pidana tanpa menyebutkan sama sekali apa yang dapat dinilai sebagai
hal yang dapat memperberat pidana tersebut, melainkan hanya menganggap pidana
yang dijatuhkan Pengadilan Negeri terlalu ringan, padahal Pengadilan Tinggi
telah menyetujui pertimbangan hukum dan hal yang memberatkan serta yang
meringankan sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri, dianggap
sebagai putusan yang tidak cukup dipertimbangkan, dan cukup alasan untuk
membatalkannya.
41. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1104 K/PID/1990
Tanggal
: 27 Pebruari 1993
Kaidah
Hukum :
Judex
facti telah salah
menerapkan hukum, sebab korban jatuh karena terserempet oleh pengendara sepeda
yang di depannya dan karena jatuhnya ke kanan maka korban tergilas oleh roda
bus yang dikemudikan Terdakwa; ternyata kendaraan bus yang dikemudikan Terdakwa
berada di jalur yang benar atau di sebelah kiri, sehingga tidak terbukti adanya
unsur kelalaian/kealpaan pada diri Terdakwa, dan Mahkamah Agung mengadili
sendiri.
42. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1077 K/PID/1997
Tanggal
: 17 Pebruari 1998
Kaidah
Hukum :
Pasal 284 KUHP ditujukan kepada
orang yang terhadap-nya berlaku ketentuan pasal 27 KUHPerdata yang hanya dapat
diberlakukan bagi golongan Tionghoa. Maka pasal 284 KUHP tidak dapat
diterapkan/diberlakukan terhadap diri Terdakwa I dan II yang tidak termasuk
golongan orang Tionghoa, melainkan orang Indonesia asli/pribumi asli.
Catatan
Penulis :
Bandingkan dengan Yurisprudensi
Nomor 561 K/PID/1982 tertanggal 30 Juli 1983 yang mengatakan dalam kaidah
hukumnya : “Menurut yurisprudensi, pasal
284 ayat 1 KUHP berlaku bagi seorang suami yang tidak tunduk pada pasal 27 BW.”.
Bukankah kedua yurisprudensi ini bertentangan?
43. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1166 K/PID/1997
Tanggal
: 22 Januari 1997
Kaidah
Hukum :
Adalah tepat dan benar beralasan
hukum apabila barang bukti berupa kapal motor, yang terbukti dipergunakan oleh
pelaku tindak pidana dalam melakukan kejahatan atau pelanggaran, dirampas untuk
Negara, tanpa perlu mempertimbangkan siapa pemilik kapal motor tersebut.
Catatan
Penulis :
Bahwa yurisprudensi ini bertentangan
dengan KUHP sebagai sumber hukum utama dalam perkara pidana.
Bunyi Pasal 39 ayat (1) KUHP :
“Barang
‘kepunyaan terpidana’ yang diperolehnya dengan kejahatan atau yang dengan
sengaja telah dipakainya untuk mengerjakan kejahatan boleh dirampas.”
Bahwa kata-kata “kepunyaan
terpidana” ini seharusnya sudah jelas berarti harus dipertimbangkan siapa
pemilik barang yang akan dirampas, yaitu barang milik terpidana atau bukan. Hal
ini juga didukung oleh pendapat R. SUGANDHI, S.H. dalam bukunya KUHP dan
Penjelasannya (Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, hlm. 39) :
“b.
yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, misalnya : golok atau
senjata api yang dipakai untuk melakukan pembunuhan dengan sengaja, alat-alat
yang dipakai untuk menggugurkan kandungan dan sebagainya. Barang-barang ini
dapat dirampas juga, akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat bahwa
barang-barang itu ‘kepunyaan terhukum’ dan digunakan untuk melakukan
kejahatan-kejahatan dengan sengaja.”
44. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 991 K/PID/2001
Tanggal
: 13 Desember 2001 (diputus PN 18 Desember 2000)
Kaidah
Hukum :
Judex
facti telah salah
menerapkan hukum, terutama hukum pembuktian, yaitu hanya memperhatikan
keterangan seorang saksi, sementara hak-hak saksi lainnya diabaikan, sekalipun
semua saksi disumpah menurut agamanya masing-masing (unus testis nullus testis).
Catatan
Penulis :
Adanya putusan bebas dalam tingkat
kasasi, MA berpendapat sebagai berikut :
“Menimbang,
bahwa namun demikian sesuai dengan yurisprudensi yang sudah ada, apabila
ternyata putusan pengadilan yang membebaskan Terdakwa itu merupakan pembebasan
yang murni sifatnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP tersebut,
permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Menimbang,
bahwa sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru
terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan
didasarkan pada tidak terbuktinya unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila
pembebasan itu sebenarnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya (meskipun mengenai hal ini tidak diajukan sebagai keberatan
kasasi), Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya bahwa pembebasan itu merupakan
bukan pembebasan yang murni harus menerima permohonan kasasi tersebut.”
45. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 38 PK/PID/2003
Tanggal
: 26 Juli 2002
Kaidah
Hukum :
Terdapat kekeliruan atau kekhilafan
yang nyata karena judex facti dalam
pertimbangan hukumnya sama sekali tidak mempertimbangkan prinsip keadilan bagi
pemohon PK.
Catatan
Penulis :
Bahwa dalam perkara pembunuhan hakim
SYAIFUDDIN KARTASASMITA oleh TOMY SOEHARTO ini ada 4 dakwaan :
I.
menyuruh
memiliki senjata api Pasal 1 ayat (1) UU Drt. 12/1951 jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP.
II.
memiliki
senjata api Pasal 1 ayat (1) UU Drt. 12/1951.
III. uitloker
340 jo. 55 (1) ke-2
KUHP.
IV. lari dari eksekusi perkara korupsi
Goro 215 ayat (1) KUHP.
Hanya alasan PK terhadap dakwaan
ke-4 yang diterima dengan alasan judex
facti telah menghukum Terdakwa terhadap dakswaan IV tanpa mempertimbangkan
bahwa putusan kasasi nomor 1 K/PID/2000 tertanggal 22 September 2000 telah
dibatalkan oleh MA dengan putusan PK Nomor 78 PK/PID/2000 tanggal 1 Oktober 2001.
Bahwa karena sudah dibebaskan atas perkara korupsi, maka tindakan Terdakwa yang
kabur dari eksekusi terbukti bukan tindak pidana/lepas. Perbuatan lari tersebut
tidak lagi mengandung sifat melawan hukum secara materiil (materiete wedererechtelijk).