Kamis, 06 Juli 2017

Kegagalan Memanusiakan Manusia



Publik dikejutkan dengan adanya postingan viral di internet tentang seorang pengemudi taksi online yang ditelanjangi di depan umum, karena didapati mengambil penumpang di Bandara Adisucipto Yogyakarta pada hari Minggu (19/6/2017). Lebih mengejutkan lagi, ternyata tidak ada petugas dari pihak bandara yang mencegah hal itu terjadi dan membiarkan aksi main hakim sendiri berlangsung. Melalui pemberitaan di berbagai media massa, General Manager PT Angkasa Pura I (Persero) Bandara Adisutjipto Yogyakarta mengaku adanya keributan mengenai adanya taksi online yang masuk bandara itu sudah terpantau di CCTV, namun tidak tidak ditemukan di berita manapun akan adanya tindakan tegas pencegahan terhadap kejadian penelanjangan tersebut, dan dan sebaliknya justru hanya memediasi saja.
Peristiwa tersebut di atas mengingatkan penulis pada peristiwa main hakim serupa yang terjadi beberapa waktu lalu di Solok - Padang, dimana seorang dokter mendapat intimidasi dari suatu ormas sehingga dipaksa untuk menandatangani pernyataan maaf, dan pihak Polres Solok hanya memediasi tanpa melakukan tindakan apapun atas adanya intimidasi tadi. Pada akhirnya Kapolri bertindak tegas dengan mencopot Kapolres Solok dari jabatannya karena dinilai tidak melakukan penegakan hukum terhadap pihak yang diduga melakukan tindak pidana di dalam perkara itu.
Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Inilah yang membedakan manusia dari makhluk lain, yaitu memiliki akal (kecerdasan) dan budi (akhlak untuk menilai baik buruknya suatu hal). Memanusiakan artinya adalah memperlakukan seseorang sebagai manusia selayaknya secara beradab bukan biadab.
Aksi penelanjangan tidak hanya memalukan si korban, namun juga mempermalukan Yogya yang terkenal sebagai kota yang santun dan berbudaya. Bagaimana bisa di depan pintu kedatangan penumpang, orang-orang dari seluruh Indonesia, bahkan dari seluruh dunia disuguhkan aksi tidak beradab ini. Jelas aksi penelanjangan tidak berlandaskan hukum, karena hukum dasarnya adalah moralitas, penghargaan terhadap hak asasi manusia, dan senantiasa sejalan dengan upaya memanusiakan manusia.
Hukum senantiasa memanusiakan manusia, salah satunya melalui due process of law. Due process of law kurang lebih artinya seseorang tidak dapat dijatuhi suatu tindakan tanpa sebuah proses hukum yang telah diatur sebelumnya. Berkaca pada kejadian ini, seandainya pengemudi mencari penumpang diluar area yang telah ditentukan pun, maka tetap harus diproses secara benar bukan diperlakukan seperti itu. Pertama, harus ada ketentuan jelas dahulu dia dipersalahkan atas aturan yang mana, apa sanksinya, serta bagaimana prosedurnya sampai dia dinyatakan bersalah. Contoh konkretnya penulis bandingkan dengan hal yang mudah ditemui, yaitu apabila tidak memiliki SIM saat berkendara maka jelas dasar hukumnya ada di UU Lalu Lintas Nomor 22/2009, sanksinya adalah kurungan/denda dalam UU tersebut, serta prosesnya ditilang, kemudian disidang di pengadilan menurut KUHAP. Salah apabila kemudian polisi menyuruh push up pelanggar atau uang denda langsung masuk kantong penilang, karena tidak ada dasar hukumnya. Begitu pula dalam kasus ini, ada penelanjangan? Penulis yakin tidak akan ada. Kedua, asas praduga tak bersalah dimana seseorang dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan sebaliknya. Jadi katakanlah memang sudah ada dasar hukumnya taksi online tidak boleh beroperasi, dan tertangkap, maka dia sudah seharusnya tidak langsung dipersalahkan, namun diproses dulu berdasarkan aturan yang ada dan diberi kesempatan pembelaan diri. Berdasar keterangan pengemudi, saat itu pengemudi masuk area bandara karena sehabis mengantar penumpang (yang diperbolehkan) dan penumpang yang berikutnya nekat masuk ke mobil meski pengemudi sudah memintanya jangan di area bandara. Hal tersebut dibenarkan penumpang. Tentunya pembelaan itu belum tentu benar, namun sebaliknya juga belum tentu salah, oleh karena itu penting adanya suatu proses hukum yang benar. Selama belum adanya prosedur yang benar, maka seseorang tidak boleh dianggap bersalah sampai terbukti sebaliknya.
Kabar terakhir di media massa, korban yang ditelanjangi sudah melaporkan kejadian yang menimpanya ke pihak kepolisian. Hal ini adalah tindakan orang yang beradab, karena dia mau mengikuti proses penegakan hukum yang benar, bukan dengan memprovokasi pengemudi online lain untuk mencari pelaku dan mencari perhitungan, misalnya. Semoga kegagalan memanusiakan semacam ini tidak kembali terulang, apalagi dibiarkan saja oleh pihak yang punya otoritas.

Kamis, 29 Desember 2016

Menunggu Ketegasan Negara



Beberapa waktu ini di Yogya terjadi perisiwa yang menjadi sorotan nasional. Pasalnya adalah Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) akhirnya menurunkan baliho bergambar mahasiswi berjilbab atas desakan ormas tertentu. Peristiwa ini tak lama terjadi setelah peristiwa serupa di Bandung yang juga menjadi isu nasional, yaitu Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang dihentikan oleh ormas tertentu karena diadakan di Sabuga (gedung publik) dan tidak di tempat ibadah. Rentetan itu muncul tak lama setelah suatu ormas berhasil menggalang massa aksi demo nasional. Rentetan peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mengenai peran ormas dan peran negara.
Berkaca dari pemberitaan yang ada, mengenai penghentian ibadah justru Kepolisian sebagai pihak yang mempertemukan ormas kepada panitia pelaksanaan ibadah, serta Kepolisian mirisnya mengatakan panitia pelaksanaan ibadah hanya punya izin dari Kepolisian saja dan belum ada izin yang lain. Sepengetahuan penulis, izin yang diperlukan memang hanya izin keramaian dari Kepolisian saja dan tidak ada izin-izin lain dari negara. Sifat dari KKR adalah insidentil atau sekali tempo bukan permanen atau sementara, sehingga tidak dapat disebut pendirian rumah ibadah yang memerlukan izin warga setempat dan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagaimana dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Pada aksi damai 212 di Jakarta lalu juga ibadah dilakukan di Monas, tapi juga tidak ada izin selain izin keramaian dari polisi. Sejak memperoleh izin dari Kepolisian, maka tugas Kepolisian adalah mengamankan kegiatan tersebut dan bukan malah memfasilitasi mempertemukan pendemo dengan panitia penyelenggara. Selain itu Kepolisian membiarkan adanya dugaan tindak pidana merintangi dan mengganggu pertemuan keagamaan sebagaimana diatur dalam Pasal 175 dan 176 KUHP. Bahwa dalam hal ini negara telah gagal untuk menjalankan perannya untuk melindungi warga negara dari desakan ormas intoleransi. Sebaliknya ormas justru sebagai pihak yang mengambilalih peran negara dalam membubarkan suatu kegiatan.
Kemudian mengenai penurunan baliho, hal ini sangat disayangkan dituruti oleh pihak UKDW, karena seandainya izin yang ada sudah dipenuhi dan disetujui oleh mahasiswi yang jadi model, maka seharusnya tuntutan ormas tidak perlu dipenuhi. Izin itu dari negara dan bukan dari ormas manapun. Sangat miris di dalam berita dikatakan pihak kampus tidak meminta izin dahulu kepada ormas yang bersangkutan karena menampilkan mahasiswi berjilbab. Sebaliknya patut dipertanyakan apakah ormas yang bersangkutan sudah terdaftar pada negara sebagaimana UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan? Mengacu pada Perda DIY 2/2015 tentang Penyelenggaraan reklame, dinyatakan suatu reklame dilarang mengandung muatan  pornografi, pornoaksi dan/atau SARA, serta wajib memenuhi etika. Lantas pelanggaran apa di dalam baliho yang justru menampilkan simbol toleransi dan pluralitas tersebut? Bahwa seandainya bertentangan dengan hal-hal tersebut, maka yang mempunyai peran untuk menertibkan adalah negara dan bukan ormas. Ormas dapat melaporkan ketidakpuasannya kepada negara, bukan mengambilalih peran negara. Sesungguhnya apabila benar nantinya dirusak, maka yang merusak justru dapat dikenakan Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang atau 170 KUHP. Sampai dengan saat ini pihak Pemerintah Yogyakarta ataupun Kepolisian belum memberikan tanggapan akan hal ini, meski sebenarnya sudah ada dugaan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan memaksa untuk melakukan sesuatu dengan ancaman kekerasan sebagaimana Pasal 335 KUHP.
Peristiwa-peristiwa tersebut pada akhirnya berakhir pada dipenuhinya desakan ormas-ormas yang bersangkutan. Masalahnya jika hal ini dibiarkan atau korban mengalah terus, maka peran ormas makin melebar jauh melangkahi peran negara. Negara dalam hal pemerintah, harus punya ketegasan terhadap ormas-ormas intoleransi. Jangan biarkan masyarakat menjadi diatur oleh ormas intoleransi, apalagi negara kalah atas desakan ormas. Siapa yang berkuasa, ormas atau pemerintah? Masyarakat juga perlu tidak perlu takut apabila di pihak yang benar. Penulis setuju terhadap sikap Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang mempunyai baliho serupa, yang akan tetap mempertahankan baliho itu sebagai bentuk penghargaan pada mahasiwanya yang berjilbab dan tidak ada yang bisa mengintervensi hal tersebut. Begitu pula penulis setuju terhadap tindakan Walikota Bandung RIDWAN KAMIL, yang walau tidak berhasil mencegah, tapi mampu memperbaiki dengan memberi sanksi secara persuasif kepada ormas yang bersangkutan untuk meminta maaf dan mendaftar ormasnya, yang apabila tidak diindahkan ormas tersebut dilarang berkegiatan lagi. Ini menunjukkan otoritas negara di atas ormas bukannya ormas di atas negara. Ketegasan ini perlu ditiru oleh pemerintah Yogyakarta dan juga pihak Kepolisian apabila benar ingin berperan sebagai negara yang melindungi dan mengayomi seluruh warga negaranya, apapun golongannya.

* dimuat di koran Bernas, hariJumat, tanggal 16 Desember 2016, hlmn. 4.

Selasa, 27 Desember 2016

Sultan Ground untuk Siapa?




Beberapa waktu ini DPRD DIY sedang membahas Rancangan Perda Istimewa (Raperdais) terkait dengan Sultan Ground yang diajukan Pemda DIY. Atas persoalan Sultan Ground, muncul berbagai tanggapan dari masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis juga ingin ikut memberi opini atas merebaknya topik tersebut.
Berbicara Sultan Ground maka perlu mengacu pada berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta, yakni berdasar Perjanjian Gianti tahun 1755. VOC (kompeni) memecah kerajaan Mataram dan mengangkat HAMENGKUBUWONO I sebagai Sultan, dimana dalam Pasal 1 Perjanjian Gianti dinyatakan VOC meminjamkan tanahnya kepada Sultan,  sebagaimana berbunyi :welke als een leen” atau “sebagai pinjaman” (SOEKANTO, 1952, Sekitar Jogjakarta 1755-1825 - Perdjanjian Gianti-Perang Diponegoro). Hal ini berlanjut sampai Kontrak Politik 18 Maret 1940, dimana Pasal 1-nya menyebut : “Kasultanan merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan karenanya berada di bawah kedaulatan Baginda Ratu Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal.” Dipertahankannya kerajaan di nusantara adalah untuk menjaga supaya rakyat tidak merasa dijajah Belanda, rakyat akan lebih mudah dikontrol melalui para rajanya (RANAWIDJAJA, 1955, Swapraja Sekarang dan Di Hari Kemudian). Keberanian Kasultanan Ngayogyakarta (dan Pakualaman) melepaskan diri dari penjajahan dan meleburkan diri dalam kedaulatan NKRI inilah yang menjadikan asal usul keistimewaan. Konsekuensinya swapraja bubar dan menjadi Kasultanan dalam arti warisan budaya di bawah kedaulatan NKRI.
Setelah kemerdekaan, maka melalui Diktum Keempat (A) UU 5/ 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan : Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas-swapraja yang masih ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara. Negara tidak pernah memiliki tanah, namun menguasai, karena yang memiliki adalah bangsa Indonesia (Penjelasan Umum UU 5/1960). Selanjutnya Penjelasan Pasal 1 hurup (c) PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian berbunyi : “yang dimaksudkan dengan "tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara sebagai dimaksud dalam diktum Keempat huruf A Undang-undang Pokok Agraria" adalah selain domein Swapraja dan bekas Swapraja, yang dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria menjadi hapus dan beralih kepada Negara, juga tanah-tanah yang benar-benar dimiliki oleh Swapraja, yaitu baik yang diusahakan dengan cara persewaan, bagi-hasil dan lain sebagainya ataupun diperuntukkan tanah jabatan dan lain-lainnya.” Bahwa yang menjadi masalah adalah program landreform tersebut sepertinya belum memberi ganti rugi pada pihak-pihak yang dirugikan, sehingga menimbulkan tuntutan dan klaim kepemilikan. Begitu pula sampai dengan saat itu, Kasultanan bukanlah subyek hukum sehingga tidak dapat memiliki hak atas tanah.
Sejak diundangkannya UU 13/2012, maka Kasultanan dijadikan subyek hukum dan dapat memiliki tanah. Kasultanan yang sekarang adalah Badan Hukum Warisan Budaya yang berbeda dengan swapraja sebagaimana disebut sebelumnya. Bahwa yang menjadi masalah adalah tanah-tanah yang akan dijadikan Sultan Ground dikhawatirkan berpandangan pada konsep Rijksblaad 16/1918 yang pada intinya tanah-tanah yang tak ada bukti hak milik (eigendom) adalah miliknya Kasultanan (asas domein). Sebenarnya Rijksblaad itu sendiri sudah dihapuskan melalui Perda DIY 3/1984 dan juga asas domein tidak lagi dikenal, serta bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam dikuasai negara untuk mencapai kemakmuran rakyat. Bahwa sebagai contoh konsep asas domein itu masih hidup adalah perkara 5 PKL Gondomanan yang sempat menjadi berita hangat beberapa waktu lalu, mereka dikalahkan oleh pengusaha yang mengklaim punya izin pemanfaatan tanah Sultan Ground dari Kasultanan (magersari). Sertipikat atas tanah yang dimaksud belumlah ada, tapi nyatanya tanah negara itu malah dianggap Sultan Ground, bahkan oleh para PKL itu sendiri.
Sampai saat ini Raperdais mengenai pertanahan sebagai turunan dari UU 13/2012 belum selesai dibahas. Sudah seharusnya yang menjadi Sultan Ground adalah tanah-tanah yang dimanfaatkan atau memiliki fungsi kaitannya dengan pengembangan kebudayaan,  kepentingan  sosial,  dan  kesejahteraan masyarakat dan tidak serta merta mengacu pada semua tanah di DIY, apalagi janganlah “menertibkan” tanah-tanah rakyat apabila tidak menyejahterakan rakyat itu sendiri. Apabila asas domein dihidupkan, konsekuensinya rakyat bahkan pemerintah pun hanya numpang. Konsekuensi sebagai pemilik, maka kewenangan mutlak atas tanah di tangan Sultan bukan negara.
Sultan otomatis Gubernur, namun menyangkut pertanahan hal ini akan menimbulkan bias karena aset Kasultanan tidak sama dengan aset pemerintah. Negara adalah satu-satunya pihak yang diberi hak menguasai tanah sebagaimana Pasal 2 UUPA, sehingga harapan penulis adalah Pemda beserta DPRD selaku perwakilan negara mengontrol kewenangan atas pemanfaatan tanah-tanah yang akan dijadikan Sultan Ground benar-benar untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan bukan untuk kepentingan Kasultanan semata.

* Dimuat dalam Koran Bernas, hari Kamis, 1 Desember 2016, hlmn. 4.

Kamis, 15 Desember 2016

Yurisprudensi beserta komentar (Buku 6)



BUKU 6
TATA USAHA NEGARA

1.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 5 K/TUN/1992
Tanggal : 21 Januari 1993
Kaidah Hukum :
Jangka waktu termaksud dalam pasal 55 UU 5/1986 harus dihitung sejak Penggugat mengetahui adanya keputusan yang merugikannya.
Penyebutan turut-Tergugat oleh PTUN Jakarta dan turut-Tergugat I/Pembanding-intervensi II dan turut-Tergugat II/Pembanding-intervensi III oleh Pengadilan Tinggi TUN Jakarta adalah tidak tepat karena tidak memenuhi isi ketentuan pasal 83 UU 5/1986 jo. penjelasan resmi dari pasal tersebut.
Dari ketentuan pasal 83 beserta penjelasan resminya, tidak dimungkinkan untuk atas prakarsa Penggugat sendiri menarik seorang atau badan hukum perdata menjadi Tergugat (vide pasal 1 ayat 6 UU 5/1986 jo. penjelasan resmi dari pasal tersebut), baik sebagai turut-Tergugat ataupun Tergugat-intervensi.
Walaupun Penggugat-asal tidak mengajukan dalam petitum, Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan dan mengadili semua keputusan atau penetapan yang bertentangan dengan tatanan yang ada.
Tidak pada tempatnya bila hak menguji hakim hanya pada objek sengketa yang telah diajukan oleh para pihak, karena sering objek sengketa tersebut harus dinilai dan dipertimbangkan dalam kaitannya dengan bagian-bagian penetapan-penetapan atau keputusan badan atau pejabat TUN yang tidak dipersengketakan antara kedua belah pihak.

2.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 47K/TUN/1997
Tanggal : 26 Januari 1998
Kaidah Hukum :
Risalah lelang merupakan berita acara hasil penjualan barang tereksekusi, bukan keputusan Badan/Pejabat TUN, tetapi sebab tidak ada unsur beslissing maupun pernyataan kehendak dari pejabat Kantor Lelang.

3.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 98 K/TUN/1998
Tanggal : 8 Pebruari 2000
Kaidah Hukum :
Tanah yang berasal dari hak Barat (eigendom) telah kembali kepada Negara, maka lurah dan camat tidak berwenang untuk mengeluarkan surat keterangan tentang status kepemilikan atas tanah tersebut.

4.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 144 K/TUN/1998
Tanggal : 29 September 1999
Kaidah Hukum :
Karena dilakukan tanpa surat perintah/surat pemberitahuan terlebih dahulu, maka pembongkaran merupakan perbuatan faktual dan bukan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memeriksa dan menyelesaikannya, tetapi harus digugat berdasarkan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) di Peradilan Umum.

5.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 136 K/TUN/2003
Tanggal : 15 Oktober 2003
Kaidah Hukum :
Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) tidak berwenang untuk menentukan bentuk jenis hukuman disiplin terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS), kewenangan tersebut sepenuhnya berada pada pejabat TUN.

6.            Putusan Mahkamah Agung Nomor 209 K/TUN/2004
Tanggal : 14 Oktober 2004
Kaidah Hukum :
Suatu PT, yang bertindak sebagai pembeli atas PT lain, tidak mempunyai kualitas atau standing untuk menggugat suatu keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang menyangkut PT yang akan dibelinya itu, sepanjang PT pembeli belum melunasi seluruh harga pembelian sebagaimana yang diperjanjikan.