Beberapa waktu ini di Yogya terjadi perisiwa yang
menjadi sorotan nasional. Pasalnya adalah Universitas Kristen Duta Wacana
(UKDW) akhirnya menurunkan baliho bergambar mahasiswi berjilbab atas desakan
ormas tertentu. Peristiwa ini tak lama terjadi setelah peristiwa serupa di
Bandung yang juga menjadi isu nasional, yaitu Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR)
yang dihentikan oleh ormas tertentu karena diadakan di Sabuga (gedung publik)
dan tidak di tempat ibadah. Rentetan itu muncul tak lama setelah suatu ormas berhasil
menggalang massa aksi demo nasional. Rentetan peristiwa ini menimbulkan
pertanyaan mengenai peran ormas dan peran negara.
Berkaca dari pemberitaan yang ada, mengenai penghentian
ibadah justru Kepolisian sebagai pihak yang mempertemukan ormas kepada panitia
pelaksanaan ibadah, serta Kepolisian mirisnya mengatakan panitia pelaksanaan
ibadah hanya punya izin dari Kepolisian saja dan belum ada izin yang lain. Sepengetahuan
penulis, izin yang diperlukan memang hanya izin keramaian dari Kepolisian saja
dan tidak ada izin-izin lain dari negara. Sifat dari KKR adalah insidentil atau
sekali tempo bukan permanen atau sementara, sehingga tidak dapat disebut
pendirian rumah ibadah yang memerlukan izin warga setempat dan rekomendasi Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagaimana dalam Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Pada aksi
damai 212 di Jakarta lalu juga ibadah dilakukan di Monas, tapi juga tidak ada
izin selain izin keramaian dari polisi. Sejak memperoleh izin dari Kepolisian,
maka tugas Kepolisian adalah mengamankan kegiatan tersebut dan bukan malah
memfasilitasi mempertemukan pendemo dengan panitia penyelenggara. Selain itu
Kepolisian membiarkan adanya dugaan tindak pidana merintangi dan mengganggu
pertemuan keagamaan sebagaimana diatur dalam Pasal 175 dan 176 KUHP. Bahwa
dalam hal ini negara telah gagal untuk menjalankan perannya untuk melindungi
warga negara dari desakan ormas intoleransi. Sebaliknya ormas justru sebagai
pihak yang mengambilalih peran negara dalam membubarkan suatu kegiatan.
Kemudian mengenai penurunan baliho, hal ini sangat
disayangkan dituruti oleh pihak UKDW, karena seandainya izin yang ada sudah
dipenuhi dan disetujui oleh mahasiswi yang jadi model, maka seharusnya tuntutan
ormas tidak perlu dipenuhi. Izin itu dari negara dan bukan dari ormas manapun.
Sangat miris di dalam berita dikatakan pihak kampus tidak meminta izin dahulu
kepada ormas yang bersangkutan karena menampilkan mahasiswi berjilbab.
Sebaliknya patut dipertanyakan apakah ormas yang bersangkutan sudah terdaftar
pada negara sebagaimana UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan? Mengacu
pada Perda DIY 2/2015 tentang Penyelenggaraan reklame, dinyatakan suatu reklame
dilarang mengandung muatan pornografi,
pornoaksi dan/atau SARA, serta wajib memenuhi etika. Lantas pelanggaran apa di
dalam baliho yang justru menampilkan simbol toleransi dan pluralitas tersebut?
Bahwa seandainya bertentangan dengan hal-hal tersebut, maka yang mempunyai
peran untuk menertibkan adalah negara dan bukan ormas. Ormas dapat melaporkan
ketidakpuasannya kepada negara, bukan mengambilalih peran negara. Sesungguhnya
apabila benar nantinya dirusak, maka yang merusak justru dapat dikenakan Pasal
406 KUHP tentang perusakan barang atau 170 KUHP. Sampai dengan saat ini pihak
Pemerintah Yogyakarta ataupun Kepolisian belum memberikan tanggapan akan hal
ini, meski sebenarnya sudah ada dugaan tindak pidana perbuatan tidak
menyenangkan memaksa untuk melakukan sesuatu dengan ancaman kekerasan
sebagaimana Pasal 335 KUHP.
Peristiwa-peristiwa tersebut pada akhirnya berakhir
pada dipenuhinya desakan ormas-ormas yang bersangkutan. Masalahnya jika hal ini
dibiarkan atau korban mengalah terus, maka peran ormas makin melebar jauh
melangkahi peran negara. Negara dalam hal pemerintah, harus punya ketegasan
terhadap ormas-ormas intoleransi. Jangan biarkan masyarakat menjadi diatur oleh
ormas intoleransi, apalagi negara kalah atas desakan ormas. Siapa yang
berkuasa, ormas atau pemerintah? Masyarakat juga perlu tidak perlu takut
apabila di pihak yang benar. Penulis setuju terhadap sikap Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta yang mempunyai baliho serupa, yang akan tetap mempertahankan
baliho itu sebagai bentuk penghargaan pada mahasiwanya yang berjilbab dan tidak
ada yang bisa mengintervensi hal tersebut. Begitu pula penulis setuju terhadap
tindakan Walikota Bandung RIDWAN KAMIL, yang walau tidak berhasil mencegah,
tapi mampu memperbaiki dengan memberi sanksi secara persuasif kepada ormas yang
bersangkutan untuk meminta maaf dan mendaftar ormasnya, yang apabila tidak
diindahkan ormas tersebut dilarang berkegiatan lagi. Ini menunjukkan otoritas
negara di atas ormas bukannya ormas di atas negara. Ketegasan ini perlu ditiru
oleh pemerintah Yogyakarta dan juga pihak Kepolisian apabila benar ingin
berperan sebagai negara yang melindungi dan mengayomi seluruh warga negaranya,
apapun golongannya.
* dimuat di koran Bernas, hariJumat, tanggal 16 Desember 2016, hlmn. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar