Kamis, 29 Desember 2016

Menunggu Ketegasan Negara



Beberapa waktu ini di Yogya terjadi perisiwa yang menjadi sorotan nasional. Pasalnya adalah Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) akhirnya menurunkan baliho bergambar mahasiswi berjilbab atas desakan ormas tertentu. Peristiwa ini tak lama terjadi setelah peristiwa serupa di Bandung yang juga menjadi isu nasional, yaitu Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang dihentikan oleh ormas tertentu karena diadakan di Sabuga (gedung publik) dan tidak di tempat ibadah. Rentetan itu muncul tak lama setelah suatu ormas berhasil menggalang massa aksi demo nasional. Rentetan peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mengenai peran ormas dan peran negara.
Berkaca dari pemberitaan yang ada, mengenai penghentian ibadah justru Kepolisian sebagai pihak yang mempertemukan ormas kepada panitia pelaksanaan ibadah, serta Kepolisian mirisnya mengatakan panitia pelaksanaan ibadah hanya punya izin dari Kepolisian saja dan belum ada izin yang lain. Sepengetahuan penulis, izin yang diperlukan memang hanya izin keramaian dari Kepolisian saja dan tidak ada izin-izin lain dari negara. Sifat dari KKR adalah insidentil atau sekali tempo bukan permanen atau sementara, sehingga tidak dapat disebut pendirian rumah ibadah yang memerlukan izin warga setempat dan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagaimana dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Pada aksi damai 212 di Jakarta lalu juga ibadah dilakukan di Monas, tapi juga tidak ada izin selain izin keramaian dari polisi. Sejak memperoleh izin dari Kepolisian, maka tugas Kepolisian adalah mengamankan kegiatan tersebut dan bukan malah memfasilitasi mempertemukan pendemo dengan panitia penyelenggara. Selain itu Kepolisian membiarkan adanya dugaan tindak pidana merintangi dan mengganggu pertemuan keagamaan sebagaimana diatur dalam Pasal 175 dan 176 KUHP. Bahwa dalam hal ini negara telah gagal untuk menjalankan perannya untuk melindungi warga negara dari desakan ormas intoleransi. Sebaliknya ormas justru sebagai pihak yang mengambilalih peran negara dalam membubarkan suatu kegiatan.
Kemudian mengenai penurunan baliho, hal ini sangat disayangkan dituruti oleh pihak UKDW, karena seandainya izin yang ada sudah dipenuhi dan disetujui oleh mahasiswi yang jadi model, maka seharusnya tuntutan ormas tidak perlu dipenuhi. Izin itu dari negara dan bukan dari ormas manapun. Sangat miris di dalam berita dikatakan pihak kampus tidak meminta izin dahulu kepada ormas yang bersangkutan karena menampilkan mahasiswi berjilbab. Sebaliknya patut dipertanyakan apakah ormas yang bersangkutan sudah terdaftar pada negara sebagaimana UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan? Mengacu pada Perda DIY 2/2015 tentang Penyelenggaraan reklame, dinyatakan suatu reklame dilarang mengandung muatan  pornografi, pornoaksi dan/atau SARA, serta wajib memenuhi etika. Lantas pelanggaran apa di dalam baliho yang justru menampilkan simbol toleransi dan pluralitas tersebut? Bahwa seandainya bertentangan dengan hal-hal tersebut, maka yang mempunyai peran untuk menertibkan adalah negara dan bukan ormas. Ormas dapat melaporkan ketidakpuasannya kepada negara, bukan mengambilalih peran negara. Sesungguhnya apabila benar nantinya dirusak, maka yang merusak justru dapat dikenakan Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang atau 170 KUHP. Sampai dengan saat ini pihak Pemerintah Yogyakarta ataupun Kepolisian belum memberikan tanggapan akan hal ini, meski sebenarnya sudah ada dugaan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan memaksa untuk melakukan sesuatu dengan ancaman kekerasan sebagaimana Pasal 335 KUHP.
Peristiwa-peristiwa tersebut pada akhirnya berakhir pada dipenuhinya desakan ormas-ormas yang bersangkutan. Masalahnya jika hal ini dibiarkan atau korban mengalah terus, maka peran ormas makin melebar jauh melangkahi peran negara. Negara dalam hal pemerintah, harus punya ketegasan terhadap ormas-ormas intoleransi. Jangan biarkan masyarakat menjadi diatur oleh ormas intoleransi, apalagi negara kalah atas desakan ormas. Siapa yang berkuasa, ormas atau pemerintah? Masyarakat juga perlu tidak perlu takut apabila di pihak yang benar. Penulis setuju terhadap sikap Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang mempunyai baliho serupa, yang akan tetap mempertahankan baliho itu sebagai bentuk penghargaan pada mahasiwanya yang berjilbab dan tidak ada yang bisa mengintervensi hal tersebut. Begitu pula penulis setuju terhadap tindakan Walikota Bandung RIDWAN KAMIL, yang walau tidak berhasil mencegah, tapi mampu memperbaiki dengan memberi sanksi secara persuasif kepada ormas yang bersangkutan untuk meminta maaf dan mendaftar ormasnya, yang apabila tidak diindahkan ormas tersebut dilarang berkegiatan lagi. Ini menunjukkan otoritas negara di atas ormas bukannya ormas di atas negara. Ketegasan ini perlu ditiru oleh pemerintah Yogyakarta dan juga pihak Kepolisian apabila benar ingin berperan sebagai negara yang melindungi dan mengayomi seluruh warga negaranya, apapun golongannya.

* dimuat di koran Bernas, hariJumat, tanggal 16 Desember 2016, hlmn. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar