Beberapa waktu ini DPRD DIY sedang membahas Rancangan
Perda Istimewa (Raperdais) terkait dengan Sultan
Ground yang diajukan Pemda DIY. Atas persoalan Sultan Ground, muncul berbagai tanggapan dari masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis juga ingin ikut memberi opini atas
merebaknya topik tersebut.
Berbicara Sultan
Ground maka perlu mengacu pada berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta, yakni
berdasar Perjanjian Gianti tahun 1755. VOC (kompeni) memecah kerajaan Mataram
dan mengangkat HAMENGKUBUWONO I sebagai Sultan, dimana dalam Pasal 1 Perjanjian
Gianti dinyatakan VOC meminjamkan tanahnya kepada Sultan, sebagaimana berbunyi : “welke
als een leen” atau “sebagai
pinjaman” (SOEKANTO,
1952, Sekitar Jogjakarta 1755-1825 - Perdjanjian
Gianti-Perang Diponegoro). Hal ini berlanjut sampai Kontrak
Politik 18 Maret 1940, dimana Pasal
1-nya menyebut : “Kasultanan
merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan karenanya berada di bawah
kedaulatan Baginda Ratu Belanda
yang diwakili oleh Gubernur Jenderal.” Dipertahankannya kerajaan di nusantara adalah untuk menjaga supaya
rakyat tidak merasa dijajah Belanda, rakyat akan lebih mudah dikontrol melalui
para rajanya (RANAWIDJAJA, 1955, Swapraja Sekarang dan Di Hari Kemudian). Keberanian
Kasultanan Ngayogyakarta (dan Pakualaman) melepaskan diri dari penjajahan dan
meleburkan diri dalam kedaulatan NKRI inilah yang menjadikan asal usul
keistimewaan. Konsekuensinya swapraja bubar dan menjadi Kasultanan dalam arti
warisan budaya di bawah kedaulatan NKRI.
Setelah kemerdekaan,
maka melalui Diktum Keempat (A) UU 5/ 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria menyatakan : “Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi
dan air dari Swapraja atau bekas-swapraja yang masih ada pada mulai berlakunya
Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara”. Negara tidak pernah memiliki tanah, namun menguasai, karena yang
memiliki adalah bangsa Indonesia (Penjelasan Umum UU 5/1960). Selanjutnya Penjelasan
Pasal 1 hurup (c) PP 224/1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian berbunyi : “yang dimaksudkan dengan "tanah
Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara sebagai dimaksud
dalam diktum Keempat huruf A Undang-undang Pokok Agraria" adalah selain
domein Swapraja dan bekas Swapraja, yang dengan berlakunya Undang-undang Pokok
Agraria menjadi hapus dan beralih kepada Negara, juga tanah-tanah yang
benar-benar dimiliki oleh Swapraja, yaitu baik yang diusahakan dengan cara
persewaan, bagi-hasil dan lain sebagainya ataupun diperuntukkan tanah jabatan
dan lain-lainnya.” Bahwa yang menjadi masalah adalah program landreform tersebut sepertinya belum
memberi ganti rugi pada pihak-pihak yang dirugikan, sehingga menimbulkan
tuntutan dan klaim kepemilikan. Begitu pula sampai dengan saat itu, Kasultanan
bukanlah subyek hukum sehingga tidak dapat memiliki hak atas tanah.
Sejak diundangkannya UU
13/2012, maka Kasultanan dijadikan subyek hukum dan dapat memiliki tanah. Kasultanan
yang sekarang adalah Badan Hukum Warisan Budaya yang berbeda dengan swapraja sebagaimana
disebut sebelumnya. Bahwa yang menjadi masalah adalah tanah-tanah yang akan
dijadikan Sultan Ground dikhawatirkan
berpandangan pada konsep Rijksblaad
16/1918 yang pada intinya tanah-tanah yang tak ada bukti hak milik (eigendom) adalah miliknya Kasultanan
(asas domein). Sebenarnya Rijksblaad itu sendiri sudah dihapuskan
melalui Perda DIY 3/1984 dan juga asas domein
tidak lagi dikenal, serta bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
dikuasai negara untuk mencapai kemakmuran rakyat. Bahwa sebagai contoh konsep
asas domein itu masih hidup adalah perkara
5 PKL Gondomanan yang sempat menjadi berita hangat beberapa waktu lalu, mereka
dikalahkan oleh pengusaha yang mengklaim punya izin pemanfaatan tanah Sultan Ground dari Kasultanan (magersari). Sertipikat atas tanah yang
dimaksud belumlah ada, tapi nyatanya tanah negara itu malah dianggap Sultan Ground, bahkan oleh para PKL itu
sendiri.
Sampai saat ini Raperdais mengenai pertanahan sebagai
turunan dari UU 13/2012 belum selesai dibahas. Sudah seharusnya yang menjadi Sultan Ground adalah tanah-tanah yang
dimanfaatkan atau memiliki fungsi kaitannya dengan pengembangan kebudayaan, kepentingan
sosial, dan kesejahteraan masyarakat dan tidak serta
merta mengacu pada semua tanah di DIY, apalagi janganlah “menertibkan”
tanah-tanah rakyat apabila tidak menyejahterakan rakyat itu sendiri. Apabila
asas domein dihidupkan, konsekuensinya
rakyat bahkan pemerintah pun hanya numpang. Konsekuensi sebagai pemilik, maka
kewenangan mutlak atas tanah di tangan Sultan bukan negara.
Sultan otomatis Gubernur, namun menyangkut pertanahan
hal ini akan menimbulkan bias karena aset Kasultanan tidak sama dengan aset
pemerintah. Negara adalah satu-satunya pihak yang diberi hak menguasai tanah sebagaimana
Pasal 2 UUPA, sehingga harapan penulis adalah Pemda beserta DPRD selaku
perwakilan negara mengontrol kewenangan atas pemanfaatan tanah-tanah yang akan
dijadikan Sultan Ground benar-benar untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat dan bukan untuk kepentingan Kasultanan semata.
* Dimuat dalam Koran Bernas, hari Kamis, 1 Desember 2016, hlmn. 4.
Menarik ulasan mas handoko, sebelumnya salam damai mas handoko
BalasHapusSy sebenarnya sbg warga merasa adanya ketidak adilan di yogyakarta krn adanya SG/PAG. Scr pribadi sy menolak keberadaan SG/PAG apalg dg sekarang adanya UU keistimewaan semakin memperkuat pihak pemegang SG/PAG utk melakukan inventarisasi SDA khususnya tanah dlm hal ini.
Terima kasih
BalasHapusSaya sendiri setuju hny sebatas untuk pelestarian budaya, tapi kenyataannya sdh lebih dr sekedar budaya, misalnya yg didiami rakyat atau kepentingan umum. Pasal 11 UUPA terdapat kalimat "dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas". Tanah adalah esensial untuk kehidupan dan pekerjaan orang. Sertipikat SG-PAG sdh lebih dr 10% luas DIY. Seolah diktum keempat A UUPA tdk berlaku. Seharusnya dihitung dari 2012 bukan ke belakang dengan peta pertanahan zaman kolonialisme, krn akan hampir semua wilayah DIY jd SG-PAG. Jika kampus, rumah sakit, dsb itu di atas SG-PAG, pertanyaannya apakah keraton itu negara? Jika aset negara maka pengawasan, penggunaan, dan pengalihannya ada persetujuan DPRD tentunya. Kalau jadi tanah SG? Tentu kewenangan mutlak Sultan. Rupanya perdais yang sudah terbit memberi kesempatan sangat luas dan itu pun tdk ada diatur pengawasan penggunaannya. Sekarang pun ganti rugi dari angkasa pura (NYIA) bukan jatuh pada rakyat, tapi di diberikannya ke Pakualaman, rakyat hny tali asih. Ya silakan bisa direnungkan.